Indonesia Rawan Pangan? Mungkinkah? - Haaahh? Indonesia yang kaya, gemah ripah loh jinawi, bisa rawan pangan? Ga mungkin!
Secara ego, saya pasti akan melakukan penyangkalan itu. Gak mungkin Indonesia yang kaya, tanahnya subur, lahan pertaniannya luas, akan sampai pada tahap rawan pangan. Gak mungkin. Gak mungkin! *Gak terima.
Tapi, saat mengikuti diskusi bersama FAA PPMI, OXFAM, dan beberapa narasumber pada hari Minggu,30 Oktober 2016 lalu di hotel Ibis Tamarin, pikiran saya jadi lebih terbuka. Woohh, ternyata Indonesia bisa juga rawan pangan. Terjadinya perubahan iklim yang kini sulit diprediksi membuat petani cukup kesulitan menentukan kapan waktu tepat untuk mulai menanam.
Menurut pak Tjuk Eko Hari Basuki, Kepala Pusat Ketersediaan Pangan Kementerian Pertanian, petani kita sejak dulu sudah mempunyai pengetahuan dan kepekaan dalam mengenali tanda-tanda alam.Tanda-tanda ini yang dijadikan patokan dalam bertani. Mereka bertani sesuai perubahan musim.
Sayangnya, perubahan iklim akhir-akhir ini cukup mengkhawatirkan. Arah perubahan musim tak lagi mudah dibaca. Jika dulu bulan Oktober - April itu memasuki masa-masa musim penghujan, kini bisa saja jadi panjang hingga bulan Juli. Padahal seharusnya bulan Juli sudah memasuki kemarau. Akibatnya, banyak hasil panen yang gagal. Beberapa panen yang diperkirakan akan jadi panen besar malah hancur karena hujan terus menerus hingga banjir. Hal-hal seperti inilah yang bisa menyebabkan terjadinya kerawanan pangan. Tak heran harga pangan pun bisa saja melonjak drastis karena kebutuhan lebih besar dari supply.
Lebih ngenes lagi ketika pak Khudori, Pengamat Pangan dan Pertanian dari FAA PPMI memaparkan beberapa hal yang menyebabkan terjadinya kendala dalam produksi pangan.
Secara ego, saya pasti akan melakukan penyangkalan itu. Gak mungkin Indonesia yang kaya, tanahnya subur, lahan pertaniannya luas, akan sampai pada tahap rawan pangan. Gak mungkin. Gak mungkin! *Gak terima.
![]() |
Diskusi yang Membahas Ketahanan Pangan |
Tapi, saat mengikuti diskusi bersama FAA PPMI, OXFAM, dan beberapa narasumber pada hari Minggu,30 Oktober 2016 lalu di hotel Ibis Tamarin, pikiran saya jadi lebih terbuka. Woohh, ternyata Indonesia bisa juga rawan pangan. Terjadinya perubahan iklim yang kini sulit diprediksi membuat petani cukup kesulitan menentukan kapan waktu tepat untuk mulai menanam.
Menurut pak Tjuk Eko Hari Basuki, Kepala Pusat Ketersediaan Pangan Kementerian Pertanian, petani kita sejak dulu sudah mempunyai pengetahuan dan kepekaan dalam mengenali tanda-tanda alam.Tanda-tanda ini yang dijadikan patokan dalam bertani. Mereka bertani sesuai perubahan musim.
Sayangnya, perubahan iklim akhir-akhir ini cukup mengkhawatirkan. Arah perubahan musim tak lagi mudah dibaca. Jika dulu bulan Oktober - April itu memasuki masa-masa musim penghujan, kini bisa saja jadi panjang hingga bulan Juli. Padahal seharusnya bulan Juli sudah memasuki kemarau. Akibatnya, banyak hasil panen yang gagal. Beberapa panen yang diperkirakan akan jadi panen besar malah hancur karena hujan terus menerus hingga banjir. Hal-hal seperti inilah yang bisa menyebabkan terjadinya kerawanan pangan. Tak heran harga pangan pun bisa saja melonjak drastis karena kebutuhan lebih besar dari supply.
Lebih ngenes lagi ketika pak Khudori, Pengamat Pangan dan Pertanian dari FAA PPMI memaparkan beberapa hal yang menyebabkan terjadinya kendala dalam produksi pangan.
![]() |
Kendala Dalam Produksi Pangan di Indonesia |
Satu hal yang menggelitik saya adalah ketika pak Khudori menyebutkan bahwa jumlah petani kini semakin berkurang. Bukan saja karena lahannya yang berubah peruntukannya, tapi juga karena jumlah petaninya berkurang. Petani yang ada sebagian besar berusia tua, lebih dari 45 tahun. Kaum muda semakin berkurang yang memilih bertani. Hal ini juga bisa jadi salah satu penyebab rawan pangan.
Huaaa, hal ini sampai saya tanyakan khusus. Nyatanya memang semakin banyak kaum muda yang enggan menjadi petani. Mereka lebih suka urban ke kota-kota besar dan memilih menjadi kuli atau apapun asal bukan mengangkat cangkul. Huhuhu. Apa mau dikata kata Pak Khudori. Kenyataan ini memang sulit ditolak.
Tapi, mbak Dini Widiastuti, Direktur Program Keadilan Ekonomi OXFAM memberi lampu hijau. Menjawab rasa penasaran saya yang bertanya "bagaimana agar kaum muda bisa tertarik bertani dan menganggap bahwa "hey, pertanian itu punya nilai ekonomis lho", mbak Dini menyebutkan kalau OXFAM sudah memulai langkah regenerasi dan memulai upaya untuk mengajak kaum muda mau bertani dan tertarik dengan dunia pertanian.
Salah satu langkah hebat, menurut saya. adalah membuat ajang pencarian Duta Petani Muda Indonesia. Melalui dutapetanimuda.org, OXFAM dan beberapa lembaga lain ikut melakukan regenerasi petani. Membangkitkan gairah pertanian. Tak hanya melakukan pemilihan, tapi juga memberikan edukasi dan pelatihan pada para petani muda ini. Mereka dipilih dari seluruh Indonesia.
Melalui ajang pemilihan tersebut diharapkan petani-petani muda dapat bangkit dan melihat pertanian bukan sesuatu yang kuno, tapi justru sesuatu yang keren dan kekinian.
Saya mengintip beberapa partner yang mendukung ajang ini salah satunya adalah sikumis.com. Setelah menelusur websitenya, saya baru sadar, ini sebuah startup yang keren *cmiiw. sikumis.com ini bisa dibilang merupakan sebuah situs yang menyalurkan hasil pertanian kepada pembeli umum, sekaligus jadi penghubung bagi pemasok.
Jika dulu hasil pertanian umumnya diborong tengkulak dan petani hanya kebagian gigit jari karena kebagian untung yang kecil, kini dengan adanya situs semacam ini akan memudahkan petani terhubung langsung dengan konsumen. Sebaliknya, konsumen bisa berhubungan langsung dengan para produsen.
Banyak hal yang bisa dilakukan agar Indonesia bisa bebas dari rawan pangan dan pertanian dapat terus berkelanjutan. Inovasi di bidang pertanian harus selalu dimunculkan. Selain memproduksi berbagai varietas tanaman unggulan, bisa juga mungkin dengan membuat aplikasi yang bisa membaca arah perubahan iklim? Atau membuat aplikasi yang mampu mengukur tingkat kesuburan tanah? Atau membuat alat yang mampu memberikan perkiraan waktu tanam?
Entahlah, saya memang bukan orang pertanian dan tak paham betul masalah ini. Tapi saya senang jika kaum muda semakin banyak yang tertarik melihat potensi pertanian. Australia, Amerika, ataupun negara-negara Eropa berhasil menggarap pertaniannya dengan gaya modern, kita pun bisa kan? Buah-buah impor asal pertanian luar membanjiri pasar Indonesia dan disukai masyarakat Indonesia, kenapa buah-buah lokal kita tak bisa jadi raja di negerinya sendiri?
Sumber https://dapurbunda3f.blogspot.com/
Share this Article