Oregairu Volume 14 Prelude 4 Bahasa Indonesia

Selasa, 08 April 2014 : April 08, 2014

0 comments

Oregairu Volume 14 Prelude 4 Bahasa Indonesia



Kami membicarakan banyak sekali hal, ibarat planning kami selama liburan animo semi, atau daerah yang ingin kami kunjungi.

 Untuk seseorang yang canggung ibarat dia, saya tahu itu hanya caranya untuk mencoba mengubah topik pembicaraan, tetapi beliau benar-benar jelek dalam hal itu.  Bahkan senyumnya tampak tidak wajar.  Dia benar-benar orang yang canggung.


 Dia sanggup melaksanakan semuanya dengan baik.  Tetapi saat kalau berbohong, bermain-main, atau menyampaikan yang sebenarnya, beliau benar-benar tidak berakal dalam hal itu.


 Aku akan suka jikalau kami tetap ibarat itu selamanya.  Tetapi waktu berlalu begitu cepat.  Malam menjadi sedikit lebih dingin, lebih sedikit orang yang terlihat di depan stasiun, kami mulai berbicara lebih sedikit, dan akhirnya, kereta berhenti berjalan.  Dan sekarang, kita tidak sanggup pergi ke mana pun.  Tetapi saya akal-akalan tidak memperhatikan hal-hal ini.


 Yang saya inginkan ialah menikmati membicarakan hal-hal random dengannya ibarat yang selalu kami lakukan.


 Kalau saja kita sanggup tetap ibarat ini selamanya, saya akan baik-baik saja dengan itu.  Jika saja keinginanku dikabulkan ibarat yang beliau inginkan, saya akan baik-baik saja dengan itu.  Tetapi itu tidak akan cukup bagiku juga tidak akan memuaskan diriku.


 "Ada banyak hal yang ingin saya lakukan..." saya berbisik.  Aku menatap bangunan besar yang cahayanya menghilang satu per satu.


 Dia menghela napas dan tersenyum.  "Kamu benar."


 "Ya, saya ingin melaksanakan segalanya.  Dan saya menginginkan segalanya. "


 Aku bergerak sedikit lebih akrab dengannya, lebih akrab dari sebelumnya, dan mendorong bahuku ke bahunya.  Lalu, saya menyandarkan kepalaku padanya seolah saya tertidur.


 "Aku orang yang rakus, jadi saya akan mengambil semuanya, oke?  Aku akan mengambil semua perasaanmu, Yukinon."


 Bagaimanapun, diriku ialah orang yang rakus.


 Hal-hal yang menyenangkan, hal-hal yang membahagiakan, hal-hal yang baik; Aku menyayangi mereka semua.  Aku tidak berakal memasak atau menciptakan roti, tetapi saya tidak benci melakukannya.  Aku ingin mencoba segala macam topping dan kombinasi.  Aku tidak peduli jikalau hasilnya buruk.  Pedas atau pahit, saya juga tidak keberatan.


 Itu sebabnya, saya akan bertanya kepadanya, tetapi hanya sekali.


Jika beliau tidak menyampaikan apa-apa, maka saya tidak akan menyampaikan apa-apa.  Tetapi jikalau beliau melakukannya, maka saya juga akan melakukannya.


 Itu tidak adil, saya tahu.  Tapi kami bertiga sama;  kami semua tidak adil.  Kami semua serakah, lantaran kami ingin impian itu dikabulkan.  Bahkan jikalau kita tahu bahwa kita tidak sanggup mewujudkannya.  Bahkan jikalau kita tahu itu tidak akan pernah terwujud.


Tapi saya mungkin yang paling rakus.

 Hal-hal manis, hal-hal pahit, hal-hal yang menyakitkan, hal-hal yang menciptakan stres, bekas luka, dan cedera;  saya menginginkan semuanya.
 Aku mengangkat kepala sehingga saya sanggup menghadapinya secara langsung, dan saya menatap matanya.  Kami sangat akrab sehingga wajah sanggup bersentuhan satu sama lain.

 "Jadi, Yukinon, tolong katakan padaku apa perasaanmu."


 Saat saya memberitahunya, beliau menghela nafas.  Dia tampak ragu-ragu dan bahkan bingung, dan matanya ragu-ragu.  Bibirnya yang lembut sedikit terbuka, bulu matanya yang panjang bergetar, dan beliau tampak ibarat akan menangis.


 Tapi saya tidak sanggup mengalihkan pandangan lagi. Aku dulu selalu bertindak seperti saya tidak melihat apa-apa, bertindak seperti saya tidak melihat sesuatu, dan bertindak seperti saya tidak tahu apa-apa, tetapi sekarang, saya tidak sanggup lagi.  Aku duduk di sana dan terus menatapnya.


 Rambutnya yang indah, matanya yang basah, dan pipinya yang pucat ialah semua hal yang selalu kulihat.


 Dia menutup bibirnya sekali saja, seolah menggigitnya, dan melihat sekeliling.  Sebagian besar hanya kami berdua di depan stasiun, dan tidak ada orang yang cukup akrab untuk mendengarkan kami.  Namun demikian, masih tampak khawatir dengan orang abnormal yang mengawasi kami, beliau perlahan-lahan mendekatkan bahunya.  Cara beliau yang sangat malu menyentuhku, itu ibarat anak kucing.


 Dia meletakkan tangannya ke mulutnya untuk membisikkan beberapa kata, kata-kata yang mungkin tidak ingin kudengar.


 Tapi karenanya saya tetap tersenyum.  Aku begitu frustasi sehingga pipiku, mulutku, dan bahkan tatapanku melunak sebagai respons.


 Dia tiba-tiba memindahkan tubuhnya.  Meskipun wajahnya tampak khawatir dan takut, pipinya masih tampak memerah dalam kegelapan.


 Ketika beliau menciptakan wajah ibarat itu, saya benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.  Karena akan lebih gampang bagiku seandainya saya membencinya.



 X X X




 Aku mengatakannya.  saya benar-benar mengatakannya, meskipun saya tidak pernah merencanakannya.


 Itu lantaran saya tahu bahwa jikalau saya mengucapkannya dan mengakuinya, segalanya tidak akan pernah sama.  Semua hal yang telah dilapisi dengan film tipis akan membelah ibarat air yang meluap dalam sebuah kapal serta semburan balon yang mempunyai jarum melintasinya.


 Karena itulah, saya menutup rapat bibirku.  Seandainya saya menelan kata-kataku saja, hal-hal sanggup berlanjut ibarat sebelumnya.  Tetapi matanya tidak mengizinkanku mrlakjkannya.


 Ini ialah pertama kalinya saya memberi tahu siapa pun sesuatu ibarat ini, dan saya yakin itu akan menjadi yang terakhir.


 Aku membuka bibirku yang gemetaran untuk memberitahunya, suaraku lemah dan gemetaran, seolah saya sedang bertobat.


 Wajah ibarat apa yang akan beliau buat?  Apa yang akan beliau katakan padaku?  Pertanyaan-pertanyaan ini memenuhi kepalaku saat saya memandangnya, dan beliau memberiku senyum yang hangat.  Dia hanya mendapatkan kata-kataku dengan anggukan, tidak mengucapkan sepatah kata pun.


 Ini ialah pertama kalinya kata-kata ibarat ini keluar dari mulutku, tapi tampaknya beliau selalu memperhatikan perasaanku semenjak dulu.  Tetapi beliau masih menentukan untuk menunggu hingga saya siap untuk memberitahunya.


"Oke, saya akan mengatakannya juga."


 Dia perlahan-lahan menutup matanya, meletakkan tangannya di pundakku, dan memakai tangannya yang lain untuk menutupi mulutnya.  Dia kemudian mendekatkan wajahnya.


 Kuku yang memanjang dari jari-jarinya yang tipis, pipinya yang diwarnai dengan warna merah muda, bibirnya yang mengkilap dan bengkak, dan alisnya yang melengkung lembut;  semua belahan imut, modis, dan bagus berangsur mendekat, seolah beliau akan menciumku.


 Ketika pikiran yang tidak pantas itu muncul di benakku, tiba-tiba saya menjadi malu dan hampir mundur.  Aku menahan dorongan itu dan mencondongkan badan ke depan.


 Dan kemudian, beliau berbisik di telingaku, seperti beliau sedang bermain-menggigit ibarat anak anjing.


 Aku yakin kata-katanya ialah apa yang ingin ku dengar.  Aku menghela nafas lega dan dengan rahasia memindahkan daguku supaya diriku tidak membiarkan pikiranku keluar.


 Dia melepaskan tangannya dari pundakku dan menjauhkan diri.  Ketika mata kami bertemu, beliau tertawa malu-malu dan mengusap-usap roti di kepalanya.


 "Aku pikir keinginan kita mungkin sama."


 "Kamu benar…"


 Paling tidak, saya pikir itu ialah satu hal yang kami yakini.


 Tapi saya tahu itu akan sulit untuk terwujud persis ibarat yang kita inginkan.  Itu sebabnya saya menentukan apa yang paling akrab dengannya.  Aku ingin percaya bahwa hal itu akan terwujud suatu hari, mungkin, hari dimana saya karenanya sanggup menangani hal-hal dengan lebih baik.


 Dengan memikirkan sesuatu dalam doa, saya mengangguk.  Namun, beliau menggelengkan kepalanya.


 Aku tidak yakin dengan apa beliau menggelengkan kepalanya.  Aku memberinya tatapan ingin tahu, hanya supaya beliau membicarakan sesuatu yang sama sekali berbda.


 "Aku pikir itu juga sama untuk Hikki."

 Ketika beliau tiba-tiba mengangkat namanya, tubuhku membeku.  Seolah ingin melepaskan tubuhku dari ketegangan, beliau dengan lembut menumpangkan tangannya dengan tanganku.

 "Kurasa beliau tidak ingin mengalah pada apa pun."


 Dia berbisik dengan hirau tak acuh, tetapi itu menusuk dadaku.  Tanpa sepengetahuanku, bahuku tenggelam.  Ketika saya melihat ke atas, tatapannya yang tak berkedip diarahkan ke langit berbintang yang jauh.


 "Jarak di antara kita bukan sesuatu yang fisik.  Tidak peduli seberapa jauh kita melangkah, tidak peduli berapa usang semenjak kita terakhir melihat satu sama lain, jarak antara perasaan kita tidak akan berubah, mungkjn "


 "Begitukah cara kerjanya...?"


 "Uh huh, kurasa begitu... Tapi jikalau perasaan kita berubah, kita akan merasa sangat berjauhan tidak peduli seberapa akrab kita satu sama lain."


 Aku mendengarkan kata-katanya di daerah yang lebih akrab daripada orang lain.  Tetapi pada titik tertentu tangan kami yang tumpang tindih telah bergabung bersama.  Kami hanya mengunci kelingking kami, seolah kami berjanji.  Hanya ada sedikit belahan tangan kami yang menyentuh.  Panas badan kita tidak terlalu tinggi, ibarat halnya suhu di sekitar kami yang tidak terlalu rendah.


 Tapi saya niscaya sanggup mencicipi sentuhan kehangatannya.


"Jika keinginanmu dan keinginanku sama, bisakah kau mendapatkan semua perasaanku?"


 "Ya, suatu hari nanti, saya niscaya akan melakukannya."


 Dia mengatakannya dalam beberapa kata: Dengan melaksanakan itu, kita sanggup tetap apa adanya tanpa ada perubahan.


 Jika tidak ada yang berubah, betapa indahnya hal itu?


 Saat kata-kata kami berkembang menjadi kehangatan, saya rahasia menutup mata dengan angan.


 Aku yakin saya tidak akan pernah melupakan kehangatan ini.  Itu sebabnya, saya juga tidak akan pernah sanggup melupakan kedinginan ini semenjak tangan kita terlepas.




Sumber http://rikaverrykurniawan.blogspot.com/
Share this Article
< Previous Article
Next Article >
Copyright © 2019 Xomlic - All Rights Reserved
Design by Ginastel.com