Judul: Looking for Alaska (Mencari Alaska)
Penulis: John Green
Penerjemah: Sekar Wulandari
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Halaman: 288
= Miles Halter mungkin salah satu siswa SMA di Florida yang biasa-biasa saja: ‘lurus’, tak banyak tingkah, dan sayangnya, tak punya banyak teman, bahkan hanya untuk menghadiri pesta perpisahan dengannya. Berbekal tekad yang terpancar dari kata-kata terakhir Francois Rabelais, ia ingin mencari sesuatu yang disebut sebagai Kemungkinan Besar. Culiver Creek, sebuah sekolah persiapan yang terletak di Alabama, agaknya mampu memenuhi keinginannya.
Hidup di lingkungan baru tentu saja tidak mudah. Perbedaan cuaca, beban pelajaran yang harus dipikul, dan yang terpenting: teman-teman baru (apakah mereka menyenangkan atau tidak). Sekamar dengan Kolonel yang sedikit temperamen, mengenal Takumi, si pemuda Jepang yang jago nge-rap, bertemu Lara, gadis Rumania yang punya aksen khas, dan berbincang dengan Alaska, perempuan yang penuh kejutan, telah memutarbalikkan kehidupan Miles (oh, julukannya Pudge) 180 derajat. Alaska, dengan keunikannya, ide gilanya yang tak habis-habis, serta rupa fisiknya memikat Miles hingga dalam taraf yang nyaris memabukkan.
Namun, ketika Alaska pergi meninggalkan teka-teki, semuanya berubah. Sebagai orang yang paling dekat dengan Alaska, Miles dan sahabat-sahabatnya memutuskan untuk mencari gadis itu beserta jawaban untuk misteri yang ditinggalkannya.
*****
Beberapa waktu yang lalu, saya berada dalam mood yang berbeda: penasaran dengan karya-karya John Green. Saat saya menemukan buku ini tadi siang, saya tidak tahan untuk membawanya pulang.
Dan, oh, apa yang harus saya katakan? Saya menyukai buku ini. Karakter Miles pada awal-awal cerita mengingatkan saya dengan diri sendiri yang tidak ingin melawan peraturan dalam bentuk apa pun. Kehidupan siswa sekolah asrama yang dihadirkan juga terasa sangat relevan dengan pengalaman saya setahun berasrama. Mungkin karena itulah saya sangat menikmati halaman demi halaman cerita di novel ini: karena ceritanya begitu dekat dengan apa yang pernah saya rasakan sebelumnya.
Teman-teman Miles (atau Pudge) yang ajaib memberikan warna dalam karakter sang tokoh utama yang awalnya terkesan datar-sedikit membosankan, hingga perlahan Miles pun berbaur dalam kegilaan mereka. Penyumbang saham terbesar untuk kegilaan itu siapa lagi:kalau bukan Alaska?
Berbicara tentang Alaska yang riang tetapi sedikit misterius membuat saya bertanya-tanya: apakah orang yang periang di luar selalu menyembunyikan pertanyaan dan rahasia besar di dalam hati mereka serta menyimpannya sendirian? Entahlah, saya ingin membuktikannya kapan-kapan.
Yang menarik saya adalah John Green, dalam buku ini, tidak hanya menawarkan kisah kehidupan remaja penuh euforia dan hal-hal sinting, melainkan juga perenungan akan makna kehidupan. Perenungan ini dihadirkan melalui sesi pelajaran Agama di Culiver Creek dan disisipkan melalui perbincangan para tokoh. Beberapa jawaban mengenai kekhawatiran manusia akan kehidupan dipaparkan secara singkat di sini (melalui perspektif para tokoh yang berbeda). Pastikan Anda memiliki prinsip yang kuat terlebih dahulu sebelum membaca dan meresapinya bila tidak ingin terombang-ambing (karena pada akhirnya, pembacalah yang akan memutuskan jawaban yang ingin mereka gunakan untuk diri mereka sendiri). Apa pertanyaan terpenting yang harus dijawab? Apa kalimat terakhir yang akan saya ucapkan kelak sebelum meninggal? Membaca novel ini mengingatkan saya akan dua pertanyaan tersebut – yang hampir saja luput dari perhatian saya selama ini.
Saya harus acung jempol untuk penerjemah dan editor yang melaksanakan tugas dengan baik. Novel ini memikat dengan bahasa Indonesia yang mudah dipahami, tetapi tidak kehilangan khas novel terjemahannya. Terutama untuk bagian rap Takumi yang penuh rima dan eksentrik (saya yakin, tidak mudah untuk menerjemahkan deretan kalimat berima dalam bahasa Inggris menjadi lirik yang sama bagusnya dalam bahasa Indonesia). Hanya saja, kata ‘tapi’ yang berkali-kali muncul di dalam novel ini mengusik pikiran saya karena setahu saya, bentuk baku dari kata itu adalah ‘tetapi’.
Terakhir, ini masalah prinsip. Karena pergaulan para tokoh di novel ini sangat bebas, saya harus melewatkan beberapa kalimat agar tidak terlalu membayangkannya secara gamblang. Bagi Anda yang berbagi prinsip yang sama dengan saya, mungkin Anda akan melakukan hal yang serupa. Untuk calon pembaca yang berusia di bawah 17 tahun, saya tidak menyarankan kalian untuk membaca buku ini sendirian tanpa bimbingan orangtua.
Oh, satu lagi, bila Anda akhirnya memutuskan untuk membaca buku ini, pastikan untuk tidak melewatkan bagian terakhir dari Bab Sesudah (272-278, lebih sempitnya lagi: 275-278) tanpa menikmati kalimat demi kalimatnya dengan perlahan. Bagi saya pribadi, novel ini ditutup dengan sangat baik.
*****
“Aku pergi untuk mencari Kemungkinan Besar.” (Francois Rabelais)
Sumber: https://littleparadox.wordpress.com/2016/09/03/review-looking-for-alaska-mencari-alaska/
DOWNLOAD EBOOK DI SINI
Share this Article