Ada yang menarik ketika penulis memenuhi undangan BEI Kantor Perwakilan Kalimantan Selatan untuk mengisi sharing session (talkshow berbagi pengalaman dan tanya jawab seputar investasi saham) di Banjarmasin, Sabtu 13 Oktober kemarin: Dari 150-an peserta yang hadir, hampir semuanya merupakan mahasiswa atau karyawan berusia 20-an atau 30-an, dan hanya sedikit yang berusia diatas 40-an. Dan ini sangat berbeda dibanding ketika penulis terakhir kali mengisi acara seperti ini sebelumnya, dimana pesertanya rata-rata sudah senior secara usia. Tidak hanya para peserta talkshow, tapi para karyawan BEI Kalsel itu sendiri rata-rata masih berusia 20-an, bahkan ada yang masih fresh graduate.
Dan memang, melalui salah satunya kampanye Yuk Nabung Saham! (YNS) sejak tahun 2015, Bursa Efek Indonesia (BEI) dan juga self regulatory organization lainnya di lingkungan pasar modal seperti OJK, KPEI, dan KSEI, seperti mengubah paradigma sebelumnya bahwa pasar saham hanyalah untuk ‘orang kaya dan mapan dengan modal minimal puluhan atau bahkan ratusan juta Rupiah’, melainkan sekarang mahasiswa atau karyawan dengan modal terbatas pun bisa menjadi pemilik perusahaan-perusahaan yang terdaftar di BEI. Jika dulu pada tahun 2002, seseorang harus menyetor minimal Rp25 juta untuk membuka rekening di sekuritas, dan di tahun 2009 turun menjadi Rp5 juta, maka sekarang setoran minimal itu turun lagi menjadi hanya Rp1 juta, relatif terjangkau bagi siapapun, sehingga ‘investasi saham’ kini tidak lagi menjadi privilege bagi kelompok masyarakat menengah keatas, melainkan sekali lagi, semua orang sekarang bisa invest di saham. Bahasa kampanye YNS di medsos juga lebih banyak ditujukan untuk investor generasi muda, dan tidak lagi kaku dan formal seperti sebelumnya.
![]() |
Penulis bersama Kepala OJK Kalimantan Selatan, Bpk. Ali Ridwan, memberikan penghargaan bagi temen-temen mahasiswa pemenang kompetisi investor D-Vlog yang diselenggarakan BEI Kalsel |
Dan alhasil, berdasarkan data single investor identification (SID) dari KSEI (Kustodian Sentra Efek Indonesia), saat ini sudah terdapat 1.3 juta rekening dana investor di Indonesia, meningkat sekitar 3 kali lipat dibanding tahun 2013 dimana hanya terdapat 400 ribu rekening, tapi tidak hanya itu: Saat ini sekitar 35% pemilik rekening sekuritas adalah berusia dibawah 30 tahun, dan 25% lainnya berusia 30 – 40 tahun. Sehingga bisa dikatakan bahwa mayoritas atau 60% investor ritel di pasar saham Indonesia merupakan generasi muda.
Peningkatan signifikan jumlah investor ritel ini di satu sisi menimbulkan dua problem. Pertama, saat ini dua pertiga investor domestik di market adalah investor pemula dengan pengalaman kurang dari 3 tahun, sehingga SRO dan sekuritas harus bekerja keras untuk mengedukasi mereka untuk berinvestasi itu sendiri dengan baik dan benar (ini kalau sekuritasnya bener/gak melulu orientasi ke trading), dan terutama menjaga mereka agar tidak keluar lagi dari pasar/berhenti berinvestasi ketika terjadi market bearish seperti yang memang sedang terjadi di tahun 2018 ini. Kedua, meski jumlah investor meningkat signifikan, namun sebagian besar merupakan investor dengan ‘dana coba-coba’ dimana nilai dana ini bisa jadi lebih kecil lagi dibanding dulu, karena itu tadi: Sekarang investor dengan modal Rp1 juta sekalipun sudah bisa buka rekening. Kondisi ini menyebabkan para equity sales di sekuritas memang menerima banyak nasabah baru, sehingga mereka jadi sangat sibuk dibanding sebelumnya, tapi trading fee yang mereka peroleh tidak benar-benar meningkat signifikan karena para nasabah ini berinvestasi menggunakan dana yang kecil saja.
Namun disisi lain, belakangan saya baru kepikiran bahwa meningkatnya jumlah investor secara signifikan dimana mereka mayoritas berusia muda, maka itu adalah awal yang sangat baik bagi perkembangan pasar saham Indonesia itu sendiri, dalam beberapa dekade ke depan.
Jadi begini. Yup, investor karyawan atau mahasiswa memang rata-rata modalnya kecil, tapi mereka punya aset yang sebenarnya lebih berharga dibanding modal itu sendiri: Waktu yang lebih panjang untuk menggali pengalaman dan untuk mengumpulkan modal investasi itu sendiri, dan terutama antusiasme yang lebih besar untuk belajar. Di masa lalu, tingginya minimum setoran awal untuk membuka rekening menyebabkan pasar saham menjadi eksklusif hanya untuk pengusaha sukses atau karyawan/manajer senior sebuah perusahaan, yang rata-rata sudah mapan secara usia, alias berusia 40 tahun keatas. Termasuk investor ritel paling sukses di Indonesia, Pak Lo Kheng Hong, juga baru mulai investasi saham di usia 30-an.
Tapi masalahnya adalah, kalau anda sudah senior secara usia, maka terus terang saja, anda sedikit banyak akan males kalo disuruh membaca laporan tahunan setebal ratusan halaman bukan? Atau kalau disuruh menghitung formula PER PBV bla bla bla, bahkan meskipun sudah menggunakan alat bantu Excel. Penulis sendiri sering bertemu (calon) investor yang masih bingung cara menghitung kalau saham A hari ini harganya 955, lalu besoknya naik jadi 975, maka itu naiknya berapa persen? (padahal itu cuma matematika sederhana). Kurangnya semangat dan antusiasme untuk belajar menganalisa, atau untuk melakukan pekerjaan analisa itu sendiri, menyebabkan banyak investor tidak benar-benar berinvestasi di saham, melainkan hanya gambling saja. Sudah tentu, investor pemula manapun kalau baru pertama kali buka rekening maka pasti mereka belum ngerti apa-apa/belum punya cukup pengetahuan. Tapi maksud penulis disini adalah, ketika seorang calon investor yang masih kuliah, atau baru berusia 20-an membuka rekening, maka biasanya ia akan semangat dan antusias untuk belajar, untuk menggali pengalaman, dan untuk melakukan eksperimen yang berisiko (karena nothing to lose juga toh? Kan modalnya masih kecil). Sehingga setelah 5 – 10 tahun, ia akan menjadi investor handal sarat pengalaman, plus bekal mental yang jauh lebih kuat, dan tentunya dengan modal yang lebih besar dibanding ketika ia dulu pertama kali membuka rekening.
Dan karena mayoritas investor di bursa adalah generasi muda yang sedang semangat-semangatnya untuk belajar, maka bisakah anda bayangkan bagaimana dampaknya terhadap pasar saham Indonesia itu sendiri dalam beberapa dekade kedepan? Just remember, ketika Warren Buffett mulai serius berinvestasi di saham pada tahun 1950-an, maka tidak hanya Buffett ketika itu masih berusia 20-an dengan modal yang juga kecil, tapi Bursa Wall Street juga sama sekali belum sebesar hari ini. Jadi jika anda termasuk investor generasi muda ini, maka perkenankan penulis untuk mengucapkan, congratulations! Karena anda saat ini adalah seperti Warren Buffett di tahun 1950-an, dimana yang perlu anda lakukan selanjutnya adalah keep moving forward, dan mari kita lihat lagi bagaimana hasilnya, beberapa tahun dari sekarang.
Problemnya bukan di Usia, Tapi Semangat untuk Belajar
Tapi Pak Teguh, apa itu artinya kalau saya sudah berusia 40-an atau lebih senior lagi, berarti saya sudah terlambat untuk invest di saham? Kabar baiknya, tidak juga. Sebab kata kuncinya disini bukanlah di usia kita berapa, melainkan seberapa besar semangat yang kita miliki untuk menggali pengetahuan serta pengalaman yang memang mutlak diperlukan dalam berinvestasi itu sendiri. Jadi bahkan kalaupun anda adalah seorang pensiunan berusia 60 tahun, tapi jika anda mampu dan memang seneng mengutak atik angka-angka yang ada di laporan keuangan emiten, maka anda tetap lebih baik dibanding investor usia 20-an yang kerjaannya cuma ngeliatin naik turun sahamnya setiap hari. Selain itu kalau anda bukan lagi seorang karyawan fresh graduate, maka harusnya modalnya juga lebih gede dong (sehingga hasil profitnya juga lebih gede). Kalau kita pake contoh W. Buffett sendiri, ketika ia mencapai US$ 1 billion pertamanya pada usia 55, tapi bahkan setelah itu ia tetap semangat berinvestasi dan melakukan pekerjaan analisa hingga hari ini, pada usia 88 tahun, ia menjadi jauh lebih kaya lagi. Nah, jadi dalam hal ini penulis juga perlu ingatkan kepada anda yang merasa ‘menang’ hanya karena anda masih berusia 30-an, 20-an, atau lebih muda lagi: Usia muda bukan jaminan bahwa anda pasti akan sukses sebagai investor, karena itu akan sepenuhnya bergantung pada seberapa baik anda dalam memanfaatkan waktu yang anda miliki.
Hanya memang, seperti yang sudah disebut diatas, investor yang baru mulai invest ketika ia sudah berusia mapan biasanya kurang semangat belajarnya, dibanding mereka yang sudah mulai lebih awal. Dalam hal ini pun anda tetap tidak perlu berkecil hati, karena kalaupun anda termasuk yang ‘capek’ untuk belajar ini, maka kata capek itu tidak berlaku bagi putra putri anda, dimana yang mereka butuhkan selanjutnya hanyalah mentor yang bisa diandalkan, yakni anda sendiri sebagai orang tuanya. Thus, jika anda baru pertama kali baca blog ini, maka ajaklah putra putri anda untuk ikut membacanya. Dan jika mereka tertarik, maka tinggal sisihkan saja barang beberapa juta Rupiah untuk membuka rekening di sekuritas untuk mereka (anak anda) kelola sendiri (kalau dia belum punya KTP, maka bisa rekeningnya pake nama anda sendiri dulu), lalu lihat hasilnya beberapa waktu kemudian 😊
Dan mudah-mudahan dengan cara inilah, pasar saham Indonesia benar-benar akan menjadi besar suatu hari nanti, lebih besar dari pasar saham China dan Jepang sekalipun. Amin!
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini:

Share this Article