Minggu kemarin, tepatnya pada hari Senin, 26 November, saham-saham batubara secara bersamaan turun tajam hingga 3 – 4% dalam satu hari tersebut, dan penulis sendiri ketika itu baru sadar bahwa sepanjang bulan November saham batubara cenderung turun banyak, justru ketika saham-saham di sektor lain mulai naik. Penyebabnya? Ada dua faktor: Penurunan harga batubara, yang menyusul penurunan harga minyak sebelumnya, dan sentimen negatif pembatasan impor batubara oleh China, dimana China memang salah satu konsumen batubara terbesar didunia, termasuk dari Indonesia.
Ilustrasi truk yang tengah mengangkut batubara di lokasi tambang |
Disisi lain, beberapa saham batubara turun sedemikian dalamnya hingga valuasi mereka menjadi terdiskon lagi, dimana PBV mereka tinggal nol koma sekian, sementara sekarang sudah akhir tahun, yang artinya tidak terlalu lama lagi, yakni pada April – Mei tahun depan, para emiten batubara ini rata-rata akan membayar dividen dalam jumlah yang cukup besar. Sebelumnya mungkin perlu diketahui bahwa karena model bisnisnya yang sangat simpel, yakni tinggal gali batubaranya lalu jual, maka perusahaan-perusahaan batubara umumnya tidak menginvestasikan kembali laba bersih mereka, melainkan ditarik dalam bentuk dividen untuk kemudian diinvestasikan di usaha lain, karena untuk menggali batubara itu memang nyaris gak butuh modal apapun kecuali untuk membeli alat-alat berat dan bahan bakar. Beberapa perusahaan memang juga membangun pembangkit listrik dll sebagai hilirisasi usaha batubaranya, tapi kebalikannya dengan usaha batubara itu sendiri, membangun infrastruktur seperti itu justu butuh investasi yang amat besar dan biasanya baru balik modal dalam jangka panjang 5 – 10 tahun, itupun kalau pembangunannya selesai tepat waktu. Jadi, sekali lagi, mayoritas emiten lebih suka membayar dividen saja, dimana rasio pembayaran dividen PTBA dkk mencapai lebih dari 50% laba bersih mereka setiap tahunnya.
Nah, jadi ketika saham-saham batubara turun banyak pada November kemarin, sementara saat ini sudah akhir tahun, maka valuasi mereka tidak hanya menjadi menarik dari sisi PBV, tapi juga dari sisi dividend yield. Jadi dalam hal ini kita gak cuma punya saham yang valuasinya murah, tapi juga menghasilkan keuntungan tunai (berupa dividen) yang lumayan.
Untuk informasi selengkapnya, berikut adalah daftar saham-saham tambang batubara dan jasa tambang batubara yang terbilang royal dividen. Sebelumnya mungkin perlu dicatat bahwa selain emiten-emiten yang disebut dibawah ini, ada dua emiten batubara yang juga royal dividen yakni Indo Tambangraya Megah (ITMG), dan Mitrabara Adiperdana (MBAP), dimana dividend yield mereka totalnya bisa lebih dari 10%. Namun karena kedua perusahaan membayar dividennya dua kali dalam setahun, maka jadilah dividen yang besar tersebut menjadi tampak kecil karena dibagi dua, dan alhasil faktor dividen tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap pergerakan sahamnya pada awal tahun.
Ticker | Net Earnings | EPS | DPR | Dividend | Price | Dividend Yield |
PTBA | 5,240 | 455 | 82.0 | 373 | 3,870 | 9.6 |
ADRO | 6,254 | 196 | 26.6 | 52 | 1,220 | 4.3 |
HRUM | 346 | 128 | 101.0 | 129 | 1,395 | 9.3 |
PTRO | 261 | 259 | 54.7 | 141 | 1,635 | 8.7 |
UNTR | 12,096 | 3,243 | 30.8 | 998 | 29,950 | 3.3 |
MYOH | 327 | 148 | 139.6 | 207 | 1,010 | 20.5 |
Catatan:
- Net earnings 2018: Laba bersih hingga Kuartal III 2018 yang sudah disetahunkan, angka dalam milyaran Rupiah. Laba dalam Dollar dikonversi ke Rupiah menggunakan kurs Rp14,700 per USD.
- EPS: earnings per share, angka dalam Rupiah per lembar saham.
- DPR: dividend payout ratio, atau rasio jumlah dividen dibandingkan nilai laba bersih perusahaan dalam setahun pada tahun 2017 kemarin. Angka dalam persen. Mungkin perlu dicatat bahwa DPR untuk PTBA dan MYOH untuk tahun depan kemungkinan akan turun.
- Dividend: Perkiraan nilai dividen yang akan dibayar pada April atau Mei 2019 nanti, berdasarkan net earnings 2018 dan DPR-nya, angka dalam Rupiah per lembar saham, belum dipotong pajak. Dalam hal ini realisasi dividen PTBA dan MYOH mungkin lebih kecil dari angka pada tabel diatas.
- Price: Harga terendah saham pada penghujung November kemarin, angka dalam Rupiah.
- Dividend yield: Nilai perkiraan dividen dibagi harga saham, angka dalam persen.
- Selain emiten yang disebut diatas, ada beberapa emiten batubara lainnya yang juga royal dividen seperti Bayan Resources (BYAN) dan Toba Bara Sejahtra (TOBA), tapi karena alasan sahamnya tidak likuid maka penulis menganggap sentimen dividen tidak akan terlalu berpengaruh.
Okay, kelihatannya menarik, tapi bagaimana dengan penurunan harga batubara tadi? Well, kalau kita cek lagi harga monthly Newcastle di Indexmundi.com, maka akan langsung kelihatan bahwa, yep, batubara memang turun dari posisi tertingginya di US$120 per ton, Juli 2018 lalu, hingga sempat tembus dibawah level psikologis $100 per ton setelah ramai cerita pembatasan impor batubara oleh China, tapi harga $90 – 100 per ton tersebut jelas terbilang masih tinggi. Malah kalau melihat chart dibawah maka kita bisa pula katakan bahwa, adalah normal jika harga batubara turun dulu sejenak karena sebelumnya memang sudah naik banyak dari $93 ke $120 per ton, hanya dalam tiga bulan. Namun jika melihat trend jangka panjangnya sejak tahun 2016 lalu, maka cukup jelas bahwa harga batubara masih dalam trend naik, atau minimal belum ada tanda-tanda bahwa dia akan balik arah menjadi trend turun. Dan asalkan harga batubara bertahan di level sekarang yakni $90 – 100 per ton, maka secara teori itu sudah sangat menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan batubara di Indonesia, karena ongkos kas produksi disini cuma sekitar $30 per ton batubara yang dihasilkan (baca lagi penjelasannya disini).
Tapi bagaimana dengan cerita China tadi? Bukankah dengan pembatasan impornya maka harga batubara bisa turun drastis? Nah, pertama, cerita pembatasan impor itu sudah sering diulang-ulang sejak dulu, mirip seperti cerita wacana penurunan harga gas bla bla bla yang bikin saham Perusahaan Gas Negara (PGAS) turun, tapi ketika ceritanya hilang maka ya sahamnya naik lagi. Dengan kata lain, kalau nanti sentimen China ini mereda seiring dengan waktu, maka saham-saham batubara gak punya alasan lagi untuk turun lebih lanjut.
Kemudian kedua, kata kuncinya disini adalah pembatasan impor. Nah, kebanyakan orang mengetahui bahwa China adalah memang konsumen batubara terbesar di dunia, dimana pada tahun 2017, konsumsi batubara China mencapai 51% atau lebih dari separuh total konsumsi batubara dunia, namun China bukanlah berarti importir batubara terbesar. Faktanya, importir batubara terbesar di dunia adalah Jepang, kemudian baru disusul oleh China, dan China juga hanya mengimpor 14% dari total nilai impor batubara di seluruh dunia pada tahun 2017. Dan kenapa kok China impornya gak sebanyak konsumsi batubaranya? Karena tidak hanya berstatus sebagai konsumen terbesar, China adalah juga produsen batubara terbesar di dunia, dimana pada tahun 2016, produksi batubara China mencapai 46% dari total produksi batubara dunia. Yup, jadi sebagian besar kebutuhan batubara China dipasok oleh supplier dari dalam negerinya sendiri.
Jadi sebenarnya kurang relevan jika dikatakan bahwa pembatasan impor oleh China berpengaruh negatif terhadap harga batubara. Di Indonesia sendiri, rata-rata produsen batubara disini hanya mengekspor 15 – 20% produksinya ke China, sementara selebihnya dilempar ke Jepang, Korea Selatan, dan India. Fakta menarik lainnya adalah, volume konsumsi batubara China justru mulai naik lagi pada tahun 2017 lalu, setelah sebelumnya turun pada tahun 2015 dan 2016, ketika itu karena perlambatan pertumbuhan ekonomi disana, sehingga penulis ragu bahwa kalaupun benar Pemerintah China membatasi impor batubaranya, maka kebijakan itu akan bertahan lama. Kemudian meski pertumbuhan angka konsumsi batubara di negara-negara konsumen batubara terbesar seperti China, Amerika Serikat, India, dan Jepang memang cenderung stagnan, tapi pertumbuhan konsumsi batubara tertinggi justru dialami oleh negara-negara emerging market termasuk Indonesia itu sendiri. Yep, pada tahun 2017 kemarin, untuk pertama kalinya Indonesia masuk 10 besar konsumen batubara terbesar di dunia, dimana salah satu pemicunya adalah karena adanya megaproyek pembangkit listrik 35,000 MW yang sudah dicanangkan sejak Mei 2015 lalu, dimana hingga akhir tahun 2017 kemarin, kapasitas pembangkit listrik PLN telah meningkat sekitar 7,000 MW. Well, bagi anda yang terutama tinggal di kota-kota besar, anda sendiri juga mungkin bisa merasakan kalau belakangan ini sudah jarang mati lampu bukan?
However, kalau ada yang mengganjal terkait prospek saham-saham batubara, maka itu adalah kinerja para emitennya yang kurang bagus di tahun 2018 ini, dimana laba bersih mereka banyak yang turun. Penulis sendiri nggak ngerti apa masalahnya, karena nyatanya harga Newcastle masih stabil di level $90 – 100 per ton sejak tahun 2017 lalu, tapi yang jelas itu menyebabkan ADRO dkk turun lumayan sepanjang tahun 2018 ini, beberapa diantaranya bahkan balik lagi ke level rendah mereka di tahun 2016. Dalam hal ini kita sebagai investor jadi punya dua opsi, jika memang tertarik untuk masuk: Tetap mengambil saham-saham yang menawarkan dividend yield tinggi namun ada risiko sahamnya tidak bergerak naik karena orang tetap melihat penurunan laba perusahaan, atau ambil saham dengan kinerja positif namun valuasinya belum bisa dikatakan murah sehingga risikonya downside-nya pun lebih besar, seperti katakanlah PTBA atau UNTR.
Okay Pak Teguh, jadi kalau anda sendiri ambilnya saham yang mana? Nah, itu nanti kita bahas minggu depan :)
Buku Kumpulan Analisis Saham Pilihan edisi Kuartal III 2018 sudah terbit! Anda bisa langsung memperolehnya disini.
Buletin Analisa IHSG & Stockpick saham bulanan edisi Desember 2018 juga sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini, gratis konsultasi/tanya jawab saham untuk member.
Buku Kumpulan Analisis Saham Pilihan edisi Kuartal III 2018 sudah terbit! Anda bisa langsung memperolehnya disini.
Buletin Analisa IHSG & Stockpick saham bulanan edisi Desember 2018 juga sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini, gratis konsultasi/tanya jawab saham untuk member.
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini:
Share this Article