The Last: Pesan Terakhir Untukmu, Terimakasih

Rabu, 06 September 2017 : September 06, 2017

0 comments


Lebih dari seminggu ini aku jarang menulis The Last: Pesan Terakhir Untukmu, Terimakasih

Lebih dari seminggu ini aku jarang menulis. Seingatku, aku menulis saat terinspirasi kata-kataku sendiri tentang makna “aku menyayangimu”. Namun, itu lebih dari seminggu yang lalu. Layak untuk dibilang kadaluarsa, menurut pandanganku sendiri. Saat ini pun sebenarnya aku malas menulis. Aku hanya memaksa diriku mengungkapkan semua yang ada di hati. Biar clear, ibarat minimalis: belum pergi sebelum bersih. Ya, inilah aku dengan segudang kisah konyol tentang cinta dan perasaan. Tulisan ini akan sedikit mewakili perasaanku saat ini. Setidaknya seminggu ke belakang.

Tulisan ini sedikit menyinggung seseorang, tapi secara umum aku menuliskannya untuk orang yang bermasalah sepertiku, setidaknya hampir mirip gitulah. Selain itu, ada beberapa pesan yang berguna, baik untuk pihak yang mencintai atau dicintai. Bisa dimulai? Aku ingin mendongeng sekali lagi untukmu!

Aku sadar hidup memang singkat. Aku juga sadar waktu tidak dapat diulang. Oleh karena itu perlu sebuah pilihan agar hidup terasa maksimal. Sebagai anak ekonomi, aku tahu betul tentang itu. Sehari-hari aku belajar tentang “pilihan”. Artinya, aku juga tahu nilai apa yang aku korbankan untuk sebuah pilihan. Dalam ekonominya ada istilah “opportunity cost”, ada hal yang dikorbankan untuk mengambil hal lain. Kau, yang berfikir untuk memilih sesuatu yang lebih berharga dan memang prioritas tidak bisa aku salahkan. Itu pilihanmu. Sebagai pihak yang dikorbankan, aku sadar posisiku.

Saat ini, aku hanya jadi ampas tanpa isi. Telah diperas habis dan tak menyisakan apa-apa. Andaikan makanan, perasaan itu adalah tahu, dan aku hanyalah ampas yang tak memiliki guna selain makanan sapi. Meskipun begitu, aku masih bersyukur masih berguna untuk orang lain, ya memang dalam level terendah. Tapi lebih baik, dari pada aku menjadi limbah dan mencemari lingkungan. Dalam analogi ini aku tidak menyinggungmu. Namun diriku sendiri. Akulah orang yang menyodorkan diri untuk diperas, meskipun pada akhirnya kaulah yang membuangku. Apa aku marah? Jelas. Itu adalah kesalahanku.

Setiap tindakan yang kita pilih memiliki risiko. Harus diakui hal itu benar. Bahkan sangat benar. Namun, tak bisa disama ratakan dengan perasaan. Timbal balik pilihan dan risiko adalah tentang rasionalitas dan empiris. Hati tak bisa seperti itu. Mengindahkan semua itu untuk perasaan yang “katanya” membuat bahagia. Sisi rasional pun ditinggalkan. Miris, hati tak setegar otak. Al hasil, saat kegagalan menimpa hanya rasa sesal dan marah. Sedihnya, tak tahu mau menyalahkan siapa kecuali diri sendiri. Memang menjadi sumber depresi.

Aku pun menjadi korban tidak rasionalitasnya diriku. Padahal, sejak SMP aku telah diajarkan untuk selalu rasional terhadap berbagai hal. Namun, untuk masalah ini otak dan hatiku tidak bisa disatukan. Harus ada yang mengalah salah satu. Artinya, aku mencintaimu bukan berdasarkan rasionalitas, yang menginginkan sebuah keuntungan untuk diriku. Tapi juga berusaha agar kaupun juga senang. Memang terlalu egois, mengorbankan diri sendiri untuk orang yang belum tentu menjadi pasangan kita. Tapi, ini perasaan bukan fikiran.

Apa yang kau fikirkan saat ada orang yang patah hati datang ke padamu?

Jawaban paling umum adalah curhat dan meluapkan semua keluh kesahnya. Menurut buku Ubur-ubur Lembur karya Raditya Dika: “kadang untuk mengobati sakit hati hanya perlu berbicara”. Ya, hanya perlu berbicara. Aku pun pernah membuat artikel tentang mengobati patah hati tanpa mengorbankan hati orang lain. Artinya, jangan berupaya mencintai seseorang setelah patah hati. Itu hanyalah pelampiasan. Kau mungkin tak sadar, karena memang anggapan pribadi serasa paling benar. Tapi, cobalah beranalogi sebentar. Bagaimana mungkin setelah patah hati kau langsung bisa melupakannya dan berpaling hati? Kau hanyalah berlari dari kenyataan dan menghampiri orang yang akan kau buat sakit hati.

Aku pun punya komitmen yang sama, mencoba mencintai seseorang setelah patah hati adalah hal yang salah. Sangat salah. Kau egois, tapi tidak sadar dan merasa benar dengan bait-bait ceramah yang kau tulis. Tapi cobalah berfikir sejenak, apa kau rela membiarkan orang yang kau dekati akan berujung sakit hati seperti yang kau alami saat ini? Sekejam itukah dirimu?

Dalam kasusku, kau mendekatiku saat setelah kau kecewa dengan seseorang. Sekilas saat itu aku berfikir “aku hanya jadi pelarian, seginikah kualitas hidupku?”. Kau mungkin berfikir aku tidak sadar, tapi nyatanya aku lebih rasional saat itu. Lalu, kenapa aku mau menjadi pelarian? Karena aku benar-benar mencintaimu. Aku hanya ingin menyembuhkan hatimu dan berharap aku mengisinya. Namun, ujung-ujungnya sama, pelarian tetaplah menjadi obat. Setelah sembuh, kembali seperti semula.

Sesibukknya aku, tidak pernah ada orang yang ku biarkan menunggu balasan pesan dariku. Itu bukan masalah prioritas, tapi kemauan diri untuk membalas. Setiap orang memang berbeda, aku faham itu. Ada orang yang fokus dengan satu hal sampai melupakan hal lain, ada pula sebaliknya. Namun, bagaimana mungkin setelah dibaca hanya dibiarkan mendebu. Pertanyaan bukanlah cerita yang hanya bisa dibaca. Fungsi tanda “?” adalah untuk dibalas. Nyatanya hanya menjadi bahan bacaan. Ya, itulah trend saat ini. Aku pun mulai memahami, artinya “tidak penting!”.

Biar ku luruskan, aku tidak marah atau apapun. Tapi kecewa. Kaulah yang bicara bahwa akan berusaha mencintaiku. Dan aku, secara tidak langsung harus membuatmu mencintaiku. Ya aku akui gagal. Namun, seharusnya kau tidak bicara seperti itu. Ibarat rumah kau sudah membuka pintu dan aku sedang berjalan memasukinya. Lalu, tiba-tiba kau tutup dengan keras sampai aku terpental kepalaku berdarah. Aku memang salah berjalan terlalu lemot, tapi, aku sedang mencari cara untuk membuatmu bahagia. Bukan untuk saat itu saja, saat kau patah hati. Tapi setiap saat.

Setelah berdara-darah, aku pergi ke rumah sakit. Dan bicara semuanya ke dokter. Kata dokter “lukamu parah!”. Lalu aku berdiri dan akan pergi menemuimu lagi. Dokter menggenggam tanganku dan kembali berkata “dengan keadaanmu saat ini, kau tidak akan akan bisa berbuat apapun”. Aku mengindahkan kata dokter, dan berjalan sok tegar. Namun, ternyata tubuhku tak sekuat tekadku. Aku kembali jatuh dan tak bisa berdiri selamanya.

Kau akan tetap menjadi orang yang ku cintai, meskipun hanya dalam hati. Aku akan tetap menceritakan kisah yang tak pernah kau dengar, berbagai lagu yang tak pernah kau nyanyikan dan aku meninggalkan sedikit kenangan itu untukmu. Namun, jauh dari sana, tidak di dekatmu lagi. Terimakasih untuk semuanya. Aku akan senang melihatmu senang.

Sumber https://detakpustaka.blogspot.com/
Share this Article
< Previous Article
Next Article >
Copyright © 2019 Xomlic - All Rights Reserved
Design by Ginastel.com