Jam dinding masih menggerakkan jarumnya, seperti jantung dan paru-parunya yang menunjukkan pergerakan. Namun tidak dengan tubuhnya, dia masih terbaring di atas dipan hijau. Masih dengan tangan tertusuk jarum infus yang meneteskan cairannya sedikit demi sedikit untuk nutrisinya. Tidak lagi ku lihat senyum di wajahnya yang periang. Raut mukanya masih sama seperti dua minggu lalu saat badanku dan badannya menghantam aspal jalan.
Dia adalah Sania, temanku sejak empat tahun yang lalu, saat aku masih awal masuk SMA. Aku yang mengetahui hampir semua rahasianya, hobinya, dan kebiasaannya. Bahkan tentang Rama, orang yang disukainya sejak kelas dua SMA.
Sania adalah orang yang tertutup, tapi tidak denganku. Dia menyimpan semua rahasianya padaku, termasuk tentang masalah bisul di punggungnya. Dia tidak pernah sedih dengan hal buruk yang ada di hidupnya, termasuk saat menceritakan soal bisul itu, dia bahkan tertawa terpingkal-pingkal karena bisulnya yang menghambat kebiasaannya menggaruk punggung dengan tembok. Kecuali satu, dia selalu murung saat dialog kami menyinggung soal Rama. Sania hanya menunduk lalu tersenyum kecut.
Aku mengenalnya saat MOS SMA, Sania satu kelompok denganku, dia sangat pendiam. Aku ingat saat jelajah malam waktu itu, aku memang tidak enak badan, tetapi aku memaksa ikut. Sedangkan Sania, wajahnya yang merona terlihat sangat pucat, ketua kelompokku langsung menyuruhnya keluar barisan, Sania hanya menunduk lalu pergi ke UKS dibantu anggota PMR, dia tidak membalas ucapan ketua kelompok sekata pun. Acara dimulai setengah jam kemudian.
Saat berjalan lewat pintu belakang sekolah, langkahku terasa gontai. Ku rasakan dunia ini berputar, aku pusing, setelah itu aku tidak ingat apapun. Aku terbangun tepat di sebelah Sania, dia menungguku dengan cemas, saat aku siuman, dia buru-buru mengambil air hangat untuk ku minum. Dia menyodorkan gelas itu dengan senyumnya, manis sekali, baru kali ini aku lihat gerakan bibirnya.
Kami mulai berkenalan, tapi tidak banyak hal yang aku katakan, aku masih merasa lemah. Sania menyuruhku istirahat. Dan anehnya, aku baru sadar posisi Sania tadi duduk, dia tidak berbaring. Dua menit kemudian, kakak PMR datang ke ruang UKS, membawa roti, teh hangat, dan obat. Kakak tadi datang karena mengetahui aku siuman. Kakak itu menyuruh Sania pindah ke tempat tidurnya untuk berbaring. Lalu kakak tadi menjelaskan bahwa Sania menungguku sejak aku masuk ruang ini, dia cemas dan menyuruh kakak PMR bertugas di lapangan, dia akan menggantikan tugas kakak PMR penjaga UKS, Sania memaksa agar keinginannya dituruti, akhirnya kakak itu keluar dan hanya ada dia yang menungguku. Otakku butuh waktu untuk mencerna keadaan, lalu hatiku berkata “ih ngeri, ada orang cantik mau nungguin aku siuman.” Jadi, tadi itu minuman Sania, dia berikan padaku, lalu dia tunggu aku sampai siuman. Ternyata di balik sifatnya yang pendiam, dia sangat baik dan tulus.
Saat penentuan kelas, aku melihat nama Sania berada pada kelas yang sama denganku, MIPA 1. Aku memasuki kelasku dengan semangat, tapi aku tidak melihat Sania di sana, akhirnya aku putuskan untuk menduduki bangku paling belakang. Pukul 7.10 saat wali kelas sudah memasuki ruang, aku lihat Sania datang dengan wajah lusuh tidak sebersih biasanya. Dia memberi salam, mencium tangan guru, lalu menuju tempat duduk sebelahku yang kebetulan kosong, sebenarnya bukan kosong, tapi aku sengaja meletakkan tasku di bangku sebelahku.
Tak lama, wali kelas duduk dan mulai mengabsen kami satu persatu. Aku masih mendengar nafasnya yang menderu. Tanpa ku suruh bercerita, dia menoleh padaku dan berkata
“Tik, tadi ban motorku bocor, kira-kira masih 5 km dari sini, belum ada tambal ban buka. Jadi aku titip di rumah warga.”
“Kamu jalan kaki 5 km? Kenapa nggak naik bus?”
“Nggak tau caranya, takut juga, hehehe.”
Dia receh ternyata
“Terus kamu ke sini naik apa?”
“Kira-kira aku jalan 1 km, terus ada ibu-ibu baru pulang dari pasar. Dia lihat aku jalan, akhirnya aku dapat tumpangan. Gratis dan aman, asyik ya hari pertama masuk kelas. Tapi tadi aku nggak boleh masuk sama satpam. Untung ada kakak kelas yang namanya Rama, dia akarab banget sama pak satpam.”
Mungkin itu kejadian yang aku ingat dari perkenalanku dengan Sania. Dia menyukai Rama sejak saat itu, entah apanya yang menawan, Rama adalah laki-laki pertama yang disukai olah Sania. Ketika aku mengenal Sania lebih dalam, aku pahami sifatnya, dia tidak hanya receh, tapi konyol.
Tapi di balik kekonyolannya, dia ternyata pemurung tentang satu hal. Bahkan dia pernah menangis di pundakku hanya karena berita soal pacar baru Rama, yaitu Ratna. Sania hanya menangis tanpa berkata, dia sesenggukan dan sesekali mengusap hidungnya dengan tisu. Aku juga tidak pernah berkata-kata saat dia menangis, aku hanya menyodorkan botol minumku. Setelah Sania minum, dia akan lebih baik. Lalu memelukku dengan erat sambil berbisik “Terima kasih, Kartika. Cuma kamu yang aku percaya. Btw kamu bau banget, belum mandi ya.” Itu yang membuat aku menyukainya, dia selalu tertawa setelah menangis, seolah air matanya tidak berarti.
Aku pernah menyarankan pada Sania agar mengatakan atau menghapus perasaannya. Aku kasihan padanya yang hanya bisa memendam, dia cukup bahagia melihat Rama dari kejauhan. Pernah aku lihat dia memandang lapangan basket tanpa bekedip, lalu air matanya turun. Aku menyentuh pundaknya, lalu dia isyaratkan agar aku diam. Dia bilang, dia cukup bahagia melihat Rama baik-baik saja. Tulus sekali cintanya, belum pernah aku melihat kisah cinta setulus ini. Aku kagum pada sifat tulus Sania, tapi aku kasihan melihatnya terluka karena memendam rasanya.
Begitu hari-hariku dengan Sania, aku bahagia dengannya, sekaligus iba pada kemampuannya menyimpan perasaan. Sampai kami lulus SMA, kami memutuskan mengambil jurusan yang berbeda. Aku mengambil jurusan Agroteknologi, sedangkan dia mengambil jurusan Bahasa Inggris. Kami tidak kuliah di universitas yang sama. Pertemuan kami semakin jarang, hanya sebatas percakapan media sosial. Saat waktu kami senggang, kami bercakap-cakap via Videocall, kami membicarakan soal liburan, kuliah, dan tidak lupa tentang Rama. Perasaannya masih semurni dulu, walaupun Sania sudah lama tidak berjumpa dengan Rama, dan entah bagaimana kabarnya.
Bulan ini aku liburan semester genap, Sania libur 2 hari sebelum aku. Rencana liburan sudah kami susun jauh-jauh hari. Dan kini saatnya aku dan dia pergi jalan-jalan bernostalgia. Aku memutuskan untuk mengajaknya ke taman dekat SMA dulu. Dia yang mentraktirku hari ini. Dia hanya menyuruh aku menunggunya di bangku taman yang panjang, sedangkan dia akan mencari makanan dan es krim kesukaanku, aku ingin ikut dia, tapi dia memaksaku duduk. Akhirnya aku hanya duduk di sana sambil memainkan ponselku.
Sepuluh menit, dia tidak kembali. Aku bosan, dan mulai memainkan batu-batu di sekitar ku. Aku menimbang, menggenggam, mengusap, dan melemparkan batu itu. Tanpa sengaja, aku melempar mengenai seorang laki-laki pejalan kaki. Laki-laki itu mendatangi aku dengan berlari kecil, aduh mati aku. Setelah agak dekat, dia tersenyum. Ternyata dia Rama, dia terlihat sangat berbeda dengan rambut panjang sebahu. Dia duduk di sebelahku dan memulai basa-basi, dia orang yang ramah dan supel. Padahal dia tidak mengenal aku sebelumnya. Dua menit, tiga menit, dia membahas Sania, orang yang selalu denganku saat SMA. Wajahnya tersipu, dia bilang bahwa dia suka Sania sejak dulu. Jantungku hampir berhenti mendengar itu. Bukankah ini berita yang sangat baik? Aku hanya melongo dan mengangguk. Di tengah ketidak sadaranku, dia menepuk jidat, dia baru ingat bahwa dia buru-buru tadi. Sebelum meninggalkanku, dia sempat meminta nomor teleponku. Lalu dia berlari mengejar urusannya.
Sania datang lima menit setelah Rama pergi. Ini sungguh kebetulan yang tidak baik. Kenapa Sania tidak ada di sini tadi.
“Sorry, antri, ada ibu-ibu tadi. Hehehe. Kamu kenapa ngelamun?”
Lalu aku menceritakan kejadian tadi. Matanya membulat dan bibirnya tersenyum. Dia menyodorkan es krimku dan menarik tanganku
“Ayo cepet pulang, di sini sinyalmu jelek. Ayooo, keburu Mas Rama chat.”
Aku tertawa tipis melihat sikapnya yang tiba-tiba mengajak pulang. Tapi aku turuti saja kemauannya. Aku yang membonceng dia pulang.
“Bener tadi Mas Rama minta nomor kamu? Dia janji mau chat kamu duluan kan? Dia Rama yang aku maksud kan? Kamu nggak bercanda kan? Ayo cepet dong, keburu malem.” Pertanyaannya tidak membutuhkan jawaban. Dia hanya memikirkan kebahagiaannya. Aku tertawa geli sambil memakan es krimku dengan tangan kiri. Dia terus saja bertanya soal Rama dan Rama. Aku menyetir dengan kecepatan di atas 60km/jam. Mengingat seberapa buru-burunya sahabatku mendengar kabar bahwa cintanya selama ini tidak bertepuk sebelah tangan.
Saat bus patas menyalip truk pasir, aku masih menyetir dengan satu tangan, karena tanganku satunya memegang es krim. Bus itu tidak peduli apa yang ada di depannya. Dia tetap menyalip. Aku tidak mendapat jalan, aku hilang kendali. Aku membuang es di tanganku dan memegang setir. Terlambat, tidak ada pilihan lain, aku membanting setir ke kiri, kami turun ke jalanan berpasir. Setirku oleng ke kanan, karena ban motorku tergelincir batu, dan tidak bisa dihindari, kami berdua jatuh dari motor. Sania lompat sebelum motor yang kami kendarai jatuh, tapi sayangnya, kakinya mengenai bodi motor. Dia malah jatuh lebih tinggi. Dia jatuh miring ke kanan, tangannya mengenai perbatasan aspal dan pasir yang selisih tingginya banyak. Tangan kanan atasnya patah, dan dia terguling ke kiri, kepalanya menghantam batu yang tadi membuat ban motor tergelincir. Dia langsung pingsan. Aku masih baik, aku hanya jatuh di tempat yang datar.
Sekarang dia ada di depanku, sedang berbaring menghisap oksigen dari tabung. Tangannya dibebat kain dan penyangga, kepalanya diperban. Semoga saja dia tidak kehilangan ingatannya. Ini semua salahku, ketika seharusnya dia bahagia, sekarang dia malah tidak sadarkan diri selama dua minggu. Rama masih menunduk di sebelahku, melihat pujaan hatinya dengan keadaan seburuk itu.
Written by Candra Uswatun
Sumber https://detakpustaka.blogspot.com/
Share this Article