Jaman sekarang manusia dimudahkan dengan berbagai informasi yang mudah di akses dan tanpa dipungut biaya sepeserpun. Kebutuhan informasi seakan sudah tersedia di mana-mana, mulai dari portal berita, blog dan sosial media. Karena kemudahan informasi tersebut membuat orang-orang terlena dengan berbagai berita yang mereka baca atau lihat.
Sehingga sering terjadi misinformasi dan menimbulkan penyalahgunaan berita menjadi konten yang mempropaganda. Menurut Hazrul Iswadi dalam artikelnya menyebutkan bahwa Sumber berita yang terpercaya akan berbanding lurus dengan tingginya tingkat keakuratan dan kebenaran berita dan informasi.
Berita dari media sosial termasuk sumber berita yang sangat memerlukan perhatian. Penting atau tidak, akurat atau tidak, benar atau tidak, menipu atau tidak, atau memanipulasi atau tidak adalah beberapa item yang harus diperhatikan dari informasi atau pengetahuan dari media sosial (Iswadi, 2016).
Dikutip dari identifikasi Kementrian Komunikasi dan Indformastika yang dimuat detik.com pada bulan April 2019 mengungkapkan lebih dari 480 konten hoax dan setengah dari konten hoax berasal dari kategori politik. Jumlah konten hoax pun meningkat sampai puncaknya saat pemilu presiden tahun 2019 (Maharani, 2019).
No. | Kategori | Jmlh. Hoax |
1 | Politik | 620 |
2 | Pemerintahan | 210 |
3 | Kesehatan | 200 |
4 | Fitnah | 159 |
5 | Kejahatan | 113 |
6 | Lain | 10 |
Dalam sebuah survey online ang melibatkan lebih dari seribu responden mengungkapkan bahwa 91,8 persen mengatakan bahwa berita mengenai Sosoal-Politik, baik terkait pemilihan kepala daerah atau pemerintah adalah jenis hoax yang paling sering ditemui, dengan persentase di media sosial sebanak 92,40 persen. Selain itu lebih dari 60 persen responden mengaku mendapatkan berita hoax dari pesan singkat seperti Line, WhatsApp dan Telegram. Penyebaran hoax lainnya adalah melalui situs website sebanyak 34,9 persen, televisi 8,7 persen, media cetak 5 persen, email 3,1 persen dan radio sebanak 1,2 persen. Sebanyak 96 responden berpendapat bahwa hoax dapat menghambat pembangunan berkelanjutan bangsa (Librianty, 2017)
Dengan persentase lebih dari 60 persen, media sosial memang menjadi wadah para penebar hoax dalam menyebarkan berita yang tidak benar. Sasaran mereka pada umumnya adalah orang-orang yang memiliki sedikit informasi tentang hal tersebut. Sehingga memudahan penyebar hoax dalam memproganda mereka dengan berita yang kurang akurat.
Penyebaran berita hoax bukan hanya dapat menghambat bangsa secara berkelanjutan, namun ada hal-hal spesifik yang dapat memecah belah bangsa. Seperti propaganda antar organisasi, penyalahgunaan informasi dan pencurian data melalui ajakan komentar provokatif. Selain itu, parahnya penyebaran hoax juga bisa berimbas pada ketentraman bangsa seperti yang kejadian baru-baru ini saat pemilu pemilihan presiden tahun 2019.
Dari case tersebut maka perlu adanya filterisasi konten dalam bermedia sosial agar tidak menimbulkan misinformation khususnya di era digital ini. Dalam esai ini akan dijabarkan bagaimana peran pemuda dalam memfilter konten serta mengedukasi, khususnya di media sosial seperti WhatsApps, Facebook, Twitter dan lainnya.
Tidak ada yang salah dalam bermedia sosial, apalagi sekarang ini adalah jamannya online dan informasi serba digital. Media sosial sudah menjadi media penyebarluasan informasi yang sangat efektif dan mudah diakses semua orang. Selain itu, media sosial juga menjadi lumbung uang bagi mereka yang membuat konten seperti Fanpage Facebook, Youtube ataupun hanya menggunakan media sosial sebagai media penyebarluasan konten yang menjadi lumbung uang.
Namun ada beberapa pihak yang menyalah gunakan media sosial sebagai sarana untuk menyebarluaskan konten bohong atau tidak benar. Ada berbagai macam tujuan yang melatar belakangi mereka melakukan hal tersebut. Mulai dari kepentingan politik, kepentingan individu bahkan sampai kepentingan suatu kelompok dalam mempropaganda orang-orang untuk ikut kepadanya.
Sering kali konten hoax atau konten bohong digunakan sebagai penarik minat masyarakat, khususnya masyarakat yang memiliki keterbatasan informasi tentang hal yang dibacanya atau dilihat. Sehingga konten hoax sering menjadi sesuatu yang trending dan dibicarakan banyak orang.
Alasan itulah yang mendasari mengapa para penyebar hoax banyak menebar berita bohong di media sosial yang memiliki persentase pengguna dengan spesifikasi pendidikan yang tidak terlalu tinggi, umunya hanya sampai tingkat SMA.
Dari data di atas terdapat 34 persen lebih konten hoax disebar luaskan melalui website. Seperti Facebook, Twitter dan lain sebagainya.
Sebagai pemuda yang lahir era digitalisasi ini maka perlu untuk lebih memfilter dan memperluas wawasan tentang hal yang dibaca kepada orang yang kurang referensi khususnya dalam berita yang mereka baca.
Generasi muda khususnya mahasiswa perannya sangat dibutuhkan dalam memfilter dan mengedukasi masyarakat secara luas tentang konten hoax. Dimulai dari diri sendiri, sebagai seorang mahasiswa yang memiliki tingkat intelektual yang lebih tinggi seharusnya mahasiswa dapat mencerminkan intelektualnya itu dengan tindakan yang meraka lakukan.
Seperti lebih memilah berita dan mencari tahu latar belakang berita tersebut disebar. Kesadaran mahasiswa akan penyebarluasan berita bohong akan sangat berguna untuk kebanyakan masyarakat. Karena masyarakat menganggap mahasiswa adalah kaum intelek yang dianggap memiliki ilmu dan informasi yang lebih banyak, sehingga masyarakat akan mengikuti tindakan mahasiswa tersebut.
Sebaliknya, jika mahasiswa gegabah untuk tidak menelusuri sumber berita yang ternyata adalah berita bohong, maka masyarakat yang kebanyakan pendidikannya masih tergolong rendah akan mengikuti.
Ada banyak cara yang bisa dilakukan mahasiswa dalam memfilter dan mengedukasi masyarakat akan informasi hoax. Adapun beberapa cara untuk memfilter konten hoax yang dikutip kominfo adalah sebagai berikut: (1) Berhati-hati dengan judul yang provokatif, (2) Cermati alamat website atau situs, (3) Periksa fakta, (4) Cek keaslian foto, (5) Ikut serta dalam grup anti penyebaran berita hoax (Yunita, 2017).
Dalam bermedia sosial sering kali melihat judul yang sedikit aneh cenderung provokatif. Seperti kejadian di Facebook dan grup WhatsApp banyak ditemukan berita-berita dengan judul yang aneh cenderung provokatif. Sebagai mahasiswa yang memiliki jiwa kritis perlu diadakan periksa data dan fakta apakah berita tersebut benar atau justru hanya dihiperbola untuk memikat pembaca saja.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan penulis di Fanpage Facebook, sebagian orang tidak pernah membaca sebuah artikel namun mengartikan sebuah artikel dari judulnya saja. Padahal secara keseluruhan judul dan isi memiliki korelasi yang kurang tepat. Lebih jelasnya penulis artikel hanya ingin menarik minat pembaca agar membaca artikelnya.
Selain itu, nama website yang aneh atau kurang familiar ditelinga patut dicurigai. Sebagai mahasiswa, patutnya harus curiga dengan nama-nama website yang kurang relevan dengan konten yang dibagikan. Sebelum membaca lebih jauh artikel, lebih eloknya melihat konten apa saja yang ada di website tersebut.
Memeriksa fakta daan cek keaslian foto juga sangat berguna saat ingin mengetahui kebenaran dari sebuah berita. Jika ditemukan kejanggalan dari foto, semisal foto tersebut pernah ditemukan di internet beberapa tahun lalu, maka patut dicurigai bahwa konten tersebut hanyalah konten penyebarluasan ketidak benaran.
Adapun beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meminimalisir hoax dan melaporkannya adalah Untuk media sosial Facebook, gunakan fitur Report Status dan kategorikan informasi hoax sebagai hatespeech/harrasment/rude/threatening, atau kategori lain yang sesuai. Jika ada banyak aduan dari netizen, biasanya Facebook akan menghapus status tersebut.
Untuk Google, bisa menggunakan fitur feedback untuk melaporkan situs dari hasil pencarian apabila mengandung informasi palsu. Twitter memiliki fitur Report Tweet untuk melaporkan twit yang negatif, demikian juga dengan Instagram. Kemudian, bagi pengguna internet, dapat mengadukan konten negatif ke Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan melayangkan e-mail ke alamat aduankonten@mail.kominfo.go.id. Masyarakat Indonesia Anti Hoax juga menyediakan laman data.turnbackhoax.id untuk menampung aduan hoax dari netizen. TurnBackHoax sekaligus berfungsi sebagai database berisi referensi berita hoax (Yunita, 2017).
Tidak ada salahnya bermedia sosial, namun bijak dalam bersosial media adalah sebuah kewajiban. Cek fakta dan keaslian sebuah berita adalah kunci utama dalam meminimalisir penyebar luasan konten hoax dan mencegah misinformation.
Banyak cara yang dapat digunakan untuk mencegah penyebarluasan konten hoax. Salah satunya adalah waspada pada judul yang provokatif, cek keaslian foto dan mengikuti grup anti hoax. Jika ditemukan sebuah berita yang mengandung unsur hoax atau ketidak benaran, Kominfo sudah melayani masyarakat dengan email aduan.
Sehingga diharapkan masyarakat Indonesia bisa lebih waspada dan bebas konten hoax kedepannya.
Share this Article