Kalau anda baca lagi pembahasan Tiga Pilar Sejahtera Food (AISA) bulan Desember 2017 lalu, yakni ketika sahamnya masih berada di level 450 – 500, maka di bagian artikel penulis menyebut tiga skenario untuk AISA ini. Pertama, manajemen AISA sukses mendivestasi usaha berasnya, kasus hukumnya (terkait anak usahanya, PT Indo Beras Unggul) selesai dengan baik, dan laba perusahaan kembali naik di tahun 2018. Dan jika ini yang terjadi, maka AISA berpeluang untuk naik dengan cepat, karena valuasinya sejak awal sudah sangat terdiskon. Kedua, masih mirip dengan skenario pertama, namun bedanya kinerja perusahaan di tahun 2018 masih biasa saja/belum kembali pulih, tapi semua berita simpang siur terkait kelangsungan usaha perusahaan tetap mereda/dilupakan orang seiring dengan berjalannya waktu. Jika skenario kedua inilah yang terjadi, maka saham AISA tetap berpeluang untuk rebound, meskipun naiknya mungkin gak akan banyak.
Dan actually, hingga sekitar bulan Februari – Maret 2018, maka skenario kedua diatas-lah yang terjadi, dimana berita simpang siur terkait AISA perlahan-lahan dilupakan orang, dan sahamnya juga beneran rebound dari 378 di bulan Desember 2017, hingga sempat tembus 700 pada akhir Februari.
However, masih ada skenario ketiga: Rencana perusahaan untuk mendivestasi usaha berasnya ternyata terhambat, atau malah muncul lagi problem baru. Dan sayangnya setelah lewat Februari – Maret 2018, justru skenario ketiga inilah yang terjadi, dimana kronologisnya sebagai berikut: Pada bulan Mei, Pefindo kembali menurunkan rating obligasi AISA, dan investor mulai was-was terutama karena AISA ketika itu bahkan masih belum merilis laporan keuangan untuk tahun penuh 2017. Ketika itu AISA masih di 480-an, turun dari 600an di bulan April, tapi turunnya lebih karena koreksi pasar. Pada 11 Juni, AISA akhirnya merilis laporan keuangan untuk tahun penuh 2017, dimana perusahaan secara mengejutkan membukukan rugi Rp552 milyar (mengejutkan, karena di Kuartal III-nya, AISA masih mencatat laba bersih Rp173 milyar). Disinilah saham AISA mulai terjun bebas ke level 200-an. Lanjut pada tanggal 26 Juni, manajemen AISA menyatakan bahwa mereka belum berhasil menjual unit usaha berasnya, tanpa menyebut secara spesifik dimana letak masalahnya (tapi kemungkinan karena pihak pembeli, yakni PT JOM Prawarsa yang masih merupakan pihak berelasi, belum punya cukup uang untuk membayar harga beli unit usaha beras tersebut, karena disisi lain PT JOM ini juga masih belum membayar harga beli PT Golden Plantation yang didivestasi AISA, dua tahun sebelumnya).
Daaan puncaknya adalah ketika pada tanggal 5 Juli, AISA kembali merilis pengumuman bahwa manajemen tidak memiliki uang kas yang cukup untuk membayar bunga salah satu utang obligasinya, yang jatuh tempo pada tanggal tersebut. Ketika itu AISA sudah terkapar di 168, dan pihak BEI segera men-suspen sahamnya. Sebab jika perdagangan AISA tetap dibuka, maka hampir bisa dipastikan bahwa sahamnya bakal jeblok lebih dalam lagi, karena kali ini masalahnya beneran serius, yakni AISA mengalami default/gagal bayar utang, yang bisa berujung pailit. Pada titik ini soal saham AISA sudah murah bla bla bla tidak lagi penting, karena perhatian semua orang tertuju hanya pada satu hal: AISA bakal bangkrut! Karena di waktu yang nyaris bersamaan, beredar pula kabar bahwa AISA digugat pailit (sebenarnya bukan digugat pailit, tapi digugat PKPU) oleh dua pemegang obligasinya yakni Sinarmas Asset Manajemen, dan Asuransi Jiwa Sinarmas, yang dikemudian hari dikonfirmasi oleh manajemen AISA, bahwa benar mereka digugat PKPU.
![]() |
Konfirmasi dari manajemen AISA terkait gugatan Sinarmas, klik gambar untuk memperbesar |
Kapan Suspensi AISA Dicabut?
Sebelum membahas soal ‘nasib’ AISA itu sendiri, pertama-tama kita coba runut dulu, apa yang akan terjadi ketika sebuah perusahaan gagal membayar utangnya, dalam hal ini utang obligasi. Pertama, pihak perusahaan akan mengupayakan restrukturisasi, atau refinancing, atau apapun itu istilahnya, dimana waktu jatuh tempo obligasi tersebut bisa diperpanjang, ditukar dengan obligasi baru dengan bunga yang lebih tinggi, hingga dikonversi menjadi saham, tergantung kesepakatan antara perusahaan dengan pemegang obligasi. Grup Bakrie bisa dinobatkan sebagai grup usaha yang paling jago untuk urusan beginian, dimana pada tahun 2015 – 2017 lalu, mereka sukses merestrukturisasi utang-utang dari salah satu anak usahanya, Bumi Resources (BUMI), meskipun memang prosesnya butuh waktu sampai beberapa tahun. Anda bisa baca lagi mekanisme restrukturisasinya disini.
Nah, jadi ketika pada tanggal 5 Juli kemarin manajemen AISA tidak bisa membayar utangnya yang jatuh tempo, maka yang akan dilakukan kemudian adalah proses restrukturisasi, dan memang sudah ada jadwal RUPO (rapat umum pemegang obligasi) dan RUPSI (rapat umum pemegang sukuk ijarah) pada tanggal 10 Agustus 2018, dimana dari rapat tersebut akan disepakati solusi yang (diharapkan) akan menguntungkan semua pihak (RUPO dan RUPSI sebelumnya hanya membahas soal penggantian collateral, karena AISA berencana melepas aset usaha berasnya, sementara ada sebagian dari usaha beras itu yang menjadi jaminan obligasinya). Cuma, inilah bedanya Grup Tiga Pilar dengan Grup Bakrie: Sekitar dua atau tiga tahun lalu, manajemen Bakrieland Development (ELTY), yang mungkin karena menyadari bahwa mereka gak punya duit buat bayar salah satu utang obligasinya yang diterbitkan di Singapura, sudah mengajukan permohonan perlindungan atas gugatan kepailitan kepada Pengadilan Singapura, sekitar dua atau tiga bulan sebelum obligasi tersebut jatuh tempo! Alhasil ketika pihak pemegang obligasi mencoba menggugat PKPU setelah utangnya jatuh tempo, maka belum apa-apa gugatan itu langsung ditolak, dan alhasil sampai sekarang tidak pernah timbul rumor bahwa ELTY bakal bangkrut.
Jadi kesalahan manajemen AISA disini adalah, entah karena mereka masih sibuk soal urusan divestasi usaha berasnya atau apa, tapi mereka diam saja ketika salah satu obligasinya akan jatuh tempo, padahal mereka tahu persis bahwa mereka tidak punya cukup uang untuk membayar obligasi tersebut. Jika saja mereka sudah mengupayakan proses restrukturisasi jauh sebelum obligasinya benar-benar jatuh tempo, termasuk mengajukan sendiri permohonan PKPU ke pengadilan, maka Sinarmas juga tidak akan mengajukan gugatan PKPU, dan tidak akan timbul cerita bahwa AISA bakal bangkrut.
Catatan: PKPU, atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, adalah suatu jangka waktu tertentu yang diberikan oleh Pengadilan Niaga, dimana selama jangka waktu tersebut pihak kreditur dan debitur akan bermusyawarah tentang cara-cara pembayaran sebagian atau seluruh utangnya. PKPU ini normalnya diajukan (ke pengadilan) oleh pihak yang berhutang, tapi pada kasus AISA, justru pihak pemegang obligasi-lah yang mengajukannya, sehingga istilah yang timbul adalah ‘gugatan’, dan bukannya ‘permohonan’, dan inilah yang menyebabkan munculnya sentimen negatif bahwa AISA sedang dalam masalah serius, dan bisa saja bangkrut.
Kedua, meski terkesan terlambat (termasuk AISA kembali mengumumkan bahwa mereka gak bisa membayar bunga obligasi yang jatuh tempo tanggal 19 Juli kemarin), tapi akhirnya proses restrukturisasi itu tetap dilakukan, dimulai dengan RUPO dan RUPSI pada tanggal 10 Agustus nanti. Yep, jadi dalam hal ini, AISA sudah memasuki periode waktu PKPU, dimana skenario selanjutnya ada dua: 1. AISA dan para pemegang obligasinya sepakat restrukturisasi alias happy ending, dan suspensi saham AISA akan segera dicabut (dan sahamnya akan naik), atau 2. Tidak terjadi kesepakatan apapun, dan saham AISA tetap di-suspen.
Jika skenario No.2 yang terjadi, maka lanjut ke proses berikutnya, yakni gugatan pailit. Nah, pada titik inilah proses hukumnya akan mulai ribet, karena bahkan kalaupun pengadilan akhirnya memutuskan bahwa AISA bangkrut (dan aset-aset AISA kemudian dialihkan ke krediturnya), maka pemilik lama AISA bisa mengajukan kasasi hingga peninjauan kembali (PK). Selain itu, berbeda dengan PKPU dimana jangka waktunya tidak boleh lebih lama dari 270 hari sejak putusan PKPU dibacakan hakim, maka proses kepailitan ini tidak ada batas waktu (sumber: www.hukumonline.com). Atau dengan kata lain, selama owner AISA masih bisa melawan dengan mengajukan kasasi dan PK, maka selama itu pula Sinarmas dan pemegang obligasi lainnya tidak bisa menyita aset-aset AISA. Dan kalaupun AISA akhirnya berpindah tangan ke pemilik baru, maka tetap saja sahamnya bakal di-suspen, sama seperti saham Berau Coal Energy (BRAU) yang sampai sekarang masih di-suspen, padahal urusan pailit-nya sudah beres/perusahaannya sudah diambil alih oleh Grup Sinarmas.
Anyway, untuk sekarang kita belum bisa menganalisa apapun terkait outlook AISA kedepannya, karena masih harus menunggu hasil RUPO dan RUPSI-nya, tanggal 10 Agustus nanti (jadi artikel ini nanti akan di-update lagi secara khusus). Harapan penulis tentu saja, hasil rapatnya adalah terjadi kesepakatan restrukturisasi, misalnya jatuh tempo obligasinya diperpanjang, dan AISA bisa kembali fokus ke upaya menjual unit usaha berasnya. Dan sudah tentu, suspensi AISA akan dicabut, dimana meski sahamnya mungkin gak akan naik banyak (karena sampai sekarang AISA belum merilis LK Kuartal I 2018, sehingga praktis investor jadi ragu: Bagaimana kalau perusahaan masih membukukan rugi?), tapi minimal dia tidak akan drop lebih lanjut karena.. PBV-nya sekarang tinggal 0.16 kali. Sebagai perbandingan, ketika saham Indika Energy (INDY) turun terus dari 5,200 hingga mentok di 150-an, tahun 2015 lalu, ketika itu karena perusahaan membukukan rugi selama empat tahun berturut-turut, maka PBV-nya ketika itu juga tinggal 0.1 – 0.2 kali. Tapi setelah harga batubara pulih, dan INDY juga sukses membukukan laba, maka anda bisa lihat sendiri kan, berapa harga sahamnya sekarang?
Tapi Pak Teguh, bagaimana kalau nanti hasil RUPO dan RUPSI-nya adalah bahwa tidak ada restrukturisasi, dan AISA kemudian benar-benar digugat pailit? Well, kalau kita terlalu khawatir maka itu juga percuma saja, karena untuk saat ini tidak ada yang bisa dilakukan kecuali tunggu sampai tanggal 10 Agustus. Sebenarnya ada satu lagi skenario yang mungkin terjadi: AISA mendapatkan suntikan modal, entah itu dalam bentuk private placement atau lainnya, dari Fidelity atau investor strategis lain yang sejak awal sudah mulai menyicil membeli saham AISA waktu sahamnya drop ke 500-an, enam bulan lalu. Dari suntikan modal itulah AISA akan bisa melunasi utang-utangnya, dan sebagai imbalannya investor strategis ini kemudian menjadi salah satu pemegang saham pengendali di AISA, termasuk membantu manajemen menjual usaha berasnya.
Dan penulis menganggap bahwa kemungkinan masuknya investor baru itu cukup terbuka, karena meski secara manajemen AISA ini nggak bagus, tapi mereka punya banyak aset bagus termasuk intangiable asset berupa merk snack ‘Taro’ yang terkenal, dan Warren Buffett sendiri paling suka aset seperti ini. Thus, all AISA need is a second hand to help, tinggal pertanyaannya, bersediakah Mr. Joko Mogoginta berbagi perusahaan yang sudah susah payah ia besarkan sejak tahun 2007 lalu?
Untuk minggu depan, sambil tunggu tanggal 10 Agustus, kita akan bahas: 1. Krakatau Steel (KRAS), 2. Update sektor konstruksi, 3. Strategi investasi jangka panjang untuk dana pensiun, mumpung saham-saham lagi murah, atau 4. Outlook jangka panjang IHSG menjelang Pemilu 2019.
Ebook Kumpulan Analisis 30 Saham Pilihan (‘Ebook Kuartalan’) edisi Kuartal II 2018 akan terbit hari Rabu, 8 Agustus 2018. Keterangan selengkapnya baca disini.
Buletin Analisa IHSG & Stockpick Saham bulanan edisi Agustus 2018 akan terbit hari Rabu, 1 Agustus. Info selengkapnya baca disini, gratis konsultasi saham untuk member.
Buletin Analisa IHSG & Stockpick Saham bulanan edisi Agustus 2018 akan terbit hari Rabu, 1 Agustus. Info selengkapnya baca disini, gratis konsultasi saham untuk member.
Follow/lihat foto-foto penulis di Instagram, klik 'View on Instagram' dibawah ini:

Share this Article