Keinginanmu terwujud, Bang. Kamu menikah usia 27, dan istrimu usia 26 tahun. Kriteria istri yang kamu inginkan. Aku melihat ibumu dan ayahmu sangat bahagia saat mendampingimu duduk di kursi pelaminan. Aku lihat wajahmu lebih manis dari biasanya, senyummu yang terus berkembang, membuat lesung pipitmu terlihat sangat jelas, gigi putihmu yang rapih, dan tatapan matamu yang tegas. Aku senang melihat kebahagiaanmu yang terpancar. Aku berada di dekat mu sekarang, juga sangat bahagia, sebagaimana kamu dan keluargamu bahagia. Lihat! Baju kita serasi, kamu mengenakan jas hitam, dan aku mengenakan setelan gaun serba hitam.
**
“Baaang, tunggu, jangan cepet-cepet jalannya.” Teriakku di belakangnya
“Ih, dasar pendek. Ayo cepetan, nanti kamu kedinginan kena hujan.” Jawabnya dengan masih berjalan cepat menuju tempat berteduh.
“Abang jahat.” Aku berkata tanpa melihat matanya, lalu aku sodorkan jaketnya yang tadi dia pinjamkan padaku sebagai payung.
“Bercanda, Lin. Jangan ngambek dong. Makanya, nanti kalau kamu nikah, cari suami yang tinggi, biar anak-anakmu tinggi.”
“Tapi aku maunya sama kamu, Bang.”
“Kamu beruntung, soalnya aku tinggi.”
“Berarti kamu yang sial, aku pendek.”
“Udah lah, Lin. Aku suka kamu bukan dari fisik kamu.”
Aku diam tersipu. Sementara dia juga tersenyum puas setelah bisa membuat aku senang. Dia menggosok tangannya, lalu mengusap pada mukanya. Sedangkan aku meniup telapak tanganku sampai hangat. Dia melihatku kedinginan, lalu memakaikan jaketnya yang setengah basah pada pundakku. Aku tersenyum dan berterima kasih. Dia balas senyum, senyum yang manis itu, senyum yang ingin aku ingat selalu.
“Baaaang, dingin. Peluk dong.”
“Bodo amat.” Dia melirikku sebentar, lalu melanjutkan kalimatnya
“Makanya, kalo keluar rumah, jangan pake baju tipis lengan pendek, nggak sopan. Jadi kedinginan kan, rasain!”
“Bercanda, Bang. Gitu aja sewot.”
“Udah terang, mau lanjut sekarang atau dua tahun lagi?”
“Empat tahun lagi lah, Bang. Jangan buru-buru.”
“Ayo cepetan, nanti ibu kamu marah, anaknya aku ajak hujan-hujanan.”
Katanya sambil berjalan meninggalkanku. Tanpa mempedulikan apakah aku sudah siap berjalan atau belum. Itulah dia, orang yang aku sukai, baik karena sifat, maupun karena fisiknya. Dia sangat menghormati aku, dia tidak pernah sekalipun menyentuhku.
Aku membuntutinya menuju tempat dia memarkir motor. Dia naik dan menyalakan mesin. Sudah ku duga, motornya mogok. Dia coba lagi dan lagi sampai kakinya pegal. Sampai dia berhenti, dan aku masih melihatnya. Dia tersenyum lagi,
“Hehehe, Lin, bantuin. Kamu kan jago silat, pasti tendangan kamu bagus, nggak meleset. Pasti bisa dong nyalain mesin motor ini. Pasti……”
Aku tersenyum mendengar kalimatnya, langsung ku potong
“Halah, nyuruh bantu nyalain mesin aja muji dulu. Minggir! Tapi janji, minggu depan beliin es krim.”
Dia turun, mempersilahkan aku mengganti posisinya. Aku menaiki motornya dan menekuk lengan kaos pendekku. Aku coba lakukan seperti dia. Sekali, dua kali, tiga kali. Motor itu hidup. Spontan dia memegang setir kanan agar aku tidak melepaskan pegasnya. Tapi tanganku belum ku lepas, aku juga paham, aku harus memanaskan mesinnya dulu. Tangan kami bersentuhan, dan kami melepasnya bersama, kami berdua saling canggung. Di tengah perasaan canggung, mesin itu mati lagi. Kami tertawa, dan hilang sudah
kecanggungan kami.
“Udah, Lin. Kamu turun, mesinnya lumayan panas. Makasih ya”
Aku turun lalu dia menghidupkan mesinnya lagi. Kali ini lebih mudah. Dia menahan pegas untuk beberapa saat. Setelah itu menyuruh aku naik, dan kita pulang.
Sesampainya di rumah aku melihat ibuku cemas. Beliau duduk di teras depan rumah. Kami berdua turun tepat di depan posisi ibu. Melihat kedatangan kami, beliau berdiri
“Loh, nak Satrio kok basah-basahan. Ayo mampir dulu, ibu buatin teh hangat”
“Nggak usah, Bu. Saya pamit langsung. Takut kemaleman.” Katanya sambil mencium tangan ibuku.
“Assalamu’alaikum”
“Waalaikumussalam warohmatullah” jawabku dan ibu bersamaan.
Dia menaiki motornya dan meninggalkan halaman rumahku. Ibuku menyuruh aku mandi, sedangkan beliau membuat minuman hangat untukku. Ibu sudah mengenalnya, dia sering datang ke rumah. Ibu menganggap dia sebagai anaknya sendiri. Sebagaimana ibu Satrio menganggap aku anaknya sendiri, tapi tidak dengan ayahnya.
Kenangan itu, dua tahun pertama aku mengenal dia. Waktu itu aku masih berpenampilan sesuka hatiku. Kaos oblong, jeans robek, rambut kuncir belakang. Sedangkan dia, lebih sering berlengan panjang dan rambut disisir rapi. Kami sangat berlainan, tapi dia hanya diam dengan sifatku yang setengah preman itu. Kadang dia ceramah panjang lebar soal penampilanku. Auratlah, nggak sopanlah, melawan kodratlah. Tapi nasihatnya selalu keluar lagi dari telingaku, sia-sia.
**
Namanya Satrio. Itulah mengapa dia dipanggil bang. Karena kebanyakan temannya memanggil dia dengan panggilan Bang Sat. Ditambah lagi karena budaya di paskibranya, dimana senior laki-laki biasanya dipanggil bang. Aku tertawa geli mendengar temannya memanggil, tapi aku tidak ingin meniru temannya, aku hanya memanggil dia dengan kata Bang.
Kami dekat sejak kelas dua SMA. Kami bertemu pada acara upacara 17 Agustus di kecamatan. Dia sebagai pemimpin peleton kanan, sedangkan drumband sekolahku sebagai pengiring instruksi pembina upacara. Pertemuan yang tidak terlalu manis. Tetapi kenangan empat tahun itu masih kami ingat.
Sekarang aku kuliah semester empat. Sedangkan Satrio memilih untuk bekerja. Dia tidak ada niatan untuk kuliah, dia ingin sukses dengan caranya sendiri. Satrio bekerja di toko swalayan di dekat kampusku. Kami jarang sekali bertemu, kesibukan kami masing-masing melarang kami memiliki banyak waktu untuk bertemu. Tapi setiap bulan, dia pulang ke rumah orang tuanya. Ibuku mengizinkan aku pulang bersamanya, jadi dia harus mengantar ku ke rumah yang jaraknya 10 km dari rumahnya. Satrio tidak pernah keberatan, dia malah senang bisa lebih lama denganku.
Beberapa kali kami pernah keluar bersama. Entah ke taman, ke danau pasar malam, maupun ke pusara kakak laki-lakiku. Sepanjang perjalanan dia memboncengku, dia selalu melawak. Gigiku tidak sempat basah saat aku di dekatnya. Kadang juga aku tersipu malu mendengar kalimatnya yang perlahan membius, membuat aku mabuk kepayang. Banyak sekali yang dia katakan untuk menghiburku.
Saat aku ada masalah, dia bungkam, dia bersedia mendengar semua ceritaku. Setelah aku puas bercerita, aku menangkupkan kedua tangan pada mukaku dan menangis. Saat itu dia mulai bicara memberi nasihat yang baik. Mendengar kalimatnya, aku selalu merasa damai, dia mengatakan hal yang membuat aku terteram, seolah dia bisa mendinginkan hatiku yang sedang gundah.
Aku masih ingat waktu dia datang ke rumah saat kakakku meninggal karena kecelakaan. Dia mengikuti perawatan jenazah kakakku sampai dikuburkan. Malam hari setelah semua rampung, dia menemui aku di belakang rumah. Aku mengacuhkan kehadirannya, dia juga diam. Aku menoleh padanya lalu bercerita dengan terisak-isak, dan dia cuma diam. Setelah aku berhenti, aku mendengar dia menarik napas dalam, dan mengatakan kalimat yang tidak akan ku lupa selamanya.
“Lin, kalo kamu sayang kakakmu, kamu mulai tutup badanmu! Di sana kakakmu dimintai pertanggung jawaban, kenapa dia membiarkan kamu membuka aurat, dia disiksa karena dosamu.”
Lalu dia diam, merasa bersalah dengan kalimatnya. Aku berhenti sesenggukan dan mulai berpikir. Dia berpamitan laku pergi. Sejak itulah aku memulai semua, aku mulai berkerudung dan meninggalkan pakaianku yang tidak layak pakai.
Aku selalu ingin menangis di dekapannya. Tapi dia tidak pernah memperbolehkan aku dekat dengannya. Selalu ada jarak diantara kami. Dia tidak pernah menatap mataku saat bicara. Sedangkan aku, aku sangat senang memperhatikan mata coklatnya yang tegas. Pandangannya yang menerawang jauh. Aku cukup senang berada di samping Satrio, tanpa harus menyentuh dia sedikitpun.
Dua tahun berlalu, akhirnya aku wisuda. Aku tidak mencari pekerjaan, tetapi aku memilih mengembangkan usaha kecil-kecilan yang sudah aku bangun sejak aku semester dua. Aku menjual bunga hidup dan bibit buah-buahan. Dulu, aku menanam saat ada pesanan, sekarang aku terus menanam dan mencangkok untuk memperbanyak bibitku.
Pemasaranku dibantu bibiku dan anak-anaknya via online. Pesanan semakin banyak, dan aku kewalahan memenuhinya. Aku mempekerjakan dua tetangga sekitar rumah. Semakin banyak lagi, dan aku harus menambah jumlah pekerja, usahaku melejit cepat. Tidak hanya itu, sekarang aku punya toko pertanian di depan rumah nenekku. Cita-citaku sebagai wiraswasta tercapai. Aku lebih sibuk mengurus gaji karyawan ku, dibanding mengurusi asmaraku. Usiaku sudah dua puluh lima tahun, tapi belum ada keinginan untuk menikah. Setiap lebaran, saudaraku pasti menanyakan hal yang sama “kapan nikah?” kesel aku tuh.
Di sisi lain, ada Satrio yang masih menjadi pegawai toko swalayan. Gajinya naik, tapi tetap saja dia adalah karyawan. Dia pernah mendaftar TNI AL. Namun dia gagal tes, karena tangannya yang bengkok bekas kecelakaannya waktu kecil. Satrio gagal meraih cita-citanya. Hubungan kami masih seperti dulu, hanya saja pertemuan kita lebih jarang. Pertemuan kami menjadi hal yang sangat spesial, karena terjadi tidak lebih dari dua kali dalam tiga bulan. Aku tidak lagi tinggal di kota tempat aku kuliah, juga tidak di kota kelahiranku. Aku dan Satrio kesulitan mencari waktu yang pas untuk bertemu. Saat aku pulang, dia malah sedang lembur. Saat aku banyak orderan, dia malah liburan.
**
Lebaran kali ini aku pulang ke rumah ibuku. Aku meminta Satrio menjemput aku di rumah. Kami berlibur berdua menikmati indahnya hidup tanpa kerja. Dia mengajakku ke tempat kesukaanku, danau itu, entah bagaimana keadaanya sekarang, sudah lama aku tidak mengunjungi.
Setelah halal bi halal dengan orang tuaku, kami pamit. Sepanjang perjalanan, Satrio menjadi pendiam. Dia tidak sehumoris biasanya. Jadi aku ikut diam. Dia sengaja memilih jalur yang melewati rumahnya. Dia menawarkan pilihan menemui orang tuanya dulu, atau ke danau dulu. Aku pilih ke danau, dan kami lanjutkan perjalanan dengan keheningan yang tidak wajar.
Akhir-akhir ini Satrio terlihat aneh. Pernah dia berjanji menjemputku pukul tujuh pagi, dia sampai di rumah pukul sembilan. Waktu itu dia lebih diam, tapi tidak sebisu sekarang. Aku merasa ada yang lain. Tapi aku tidak berpikir dalam, aku pikir itu hanya masalah pekerjaannya.
Sesampainya di sana, danau ini sangat sepi, hanya ada kami berdua. Entah karena danau ini kalah saing dengan wisata lain, atau memang karena musim mudik. Satrio memarkir motornya di tempat biasanya, di bawah pohon Flamboyan. Dia tetap duduk di atas motor, sedangkan aku berjalan mendekati danau. Aku rindu suasananya.
Satu menit hening, tidak ada percakapan dari tadi. Aku berbalik badan menghadap Satrio, dia mulai mengangkat kepalanya.
“Linda..”
“Kenapa, Bang?”
“Aku minta maaf”
“Kamu ada apa sih, Bang?”
“Kamu mau aku basa-basi atau langsung inti?”
“Inti langsung, Bang. Kamu paham, aku nggak suka basa-basi”
“Kamu ingat pertemuan kita sebelumnya, aku telat dua jam gara-gara nggak ada motor. Sebenarnya ayah ngelarang aku berangkat. 2 jam lebih aku ngotot sama ayah, mempertahankan kamu. Akhirnya aku pergi tanpa pamit.”
“Iya, tau. Ayah kamu dari dulu nggak setuju sama hubungan kita kan?”
“Hubungan kita sampai di sini, Lin.” Dia kembali menundukkan kepalanya
“Halah tukang prank. Jangan bercanda yang gini lah, nggak suka aku.”
“Aku serius, Lin. Ayahku nggak kasih restu hubungan kita.”
“Kenapa baru sekarang, Bang?”
“Ayahku kira, kamu nggak akan sesukses ini. Dari pengalaman sepupuku yang nikah sama perempuan sukses. Perempuan bisa seenaknya memperlakukan suaminya. Ayahku sudah dari dulu menilai kamu perempuan yang buruk, tidak punya sopan santun dan tidak bermoral karena penampilanmu.”
“Tapi aku bukan perempuan yang sama, Bang. Kamu paham sifatku, kan?” suaraku mulai parau menahan tangis.
“Aku paham, Lin. Aku, ibuku sudah jelaskan semua sama ayah. Ayahku bilang, tabiat bisa berubah, uang mengubah segalanya. Ayah bilang, kamu berkerudung karena ingin mendapat restu ayahku. Kamu tau ayahku, kan? Aku juga nggak mungkin melawan dia.”
“Bang..” hanya kata itu yang bisa aku ucap, lainnya bungkam. Tangis menghentikan suaraku. Aku membalik badanku lagi menghadap danau, Satrio turun dari duduknya, mendekati aku.
“Ayah punya calon buat aku, Lin. Anaknya teman sekolahnya ayah dulu. Anak kyai, pendiam, tidak pernah keluar rumah. Sejak dua bulan kita dekat, ayah sudah mencari calon istri buat aku.”
Aku tersinggung mendengar deskripsinya. Harusnya Satrio dan ibunya paham sifatku. Aku memang banyak bicara, aku bukan anak orang agamis, aku bukan perempuan yang betah di rumah, aku lebih menyukai kegiatan yang bersifat produktif daripada berdiam diri. Aku terima dia dan keluarga dia apa adanya, aku tidak keberatan dengan status sosialnya. Kenapa mereka kesulitan meyakinkan ayah Satrio.
“Bukan maksudku bandingkan kamu, Lin. Tetap kamu yang aku ingin, tetap kamu yang aku suka, tapi aku harus pilih salah satu, antara perempuan atau orang tua. Maaf aku pilih ayahku.”
Aku sudah hilang kendali, aku marah, sedih, kecewa, semua perasaan negatif ada di kepalaku. Mukaku terasa pegal, susah menahan air mata, akhirnya mereka menetes. Aku yakin Satrio mendengar isakku, jelas sekali. Mungkin ini adalah kali pertama dan terakhir dia mendengar tangisanku, aku tidak pernah menangis sekeras ini.
Aku sudah lupa diri, pikiranku dipenuhi nafsu amarah yang meledak-ledak. Aku berbalik badan, menghampiri badan Satrio. Aku meraih badannya, ku peluk erat sekali, ku benamkan mukaku di dadanya, aku menangis sejadi-jadinya. Satrio diam, dia tidak mengelak. Perlahan aku merasa tangannya membelai kerudungku, dan meraih punggungku. Aku tidak rela, badan yang selama sepuluh tahun ini aku jaga, tidak pernah ku sentuh, yang aku hormati, kini harus jatuh untuk orang lain. Aku juga mendengar isakan samar Satrio. Satu menit, lima menit, tujuh menit, masih tidak ada percakapan kecuali isakan kami yang seolah berbicara tentang ketidak relaan. Sepuluh menit di dekapannya, aku melepaskan diri, aku rasa aku sudah melewati batas.
“Lin, kamu datang ke pernikahanku tanggal 23 bulan depan ya! Tolong! Itu terakhir kita bertemu, aku nggak akan di pulau Jawa lagi, aku ikut istriku ke rumah ayahnya.”
Aku hanya mengangguk mengiyakan, mataku masih sembab. Aku mengisyaratkan agar Satrio mengantar aku pada ibunya, untuk pamit dan berterima kasih. Danau ini tidak lagi indah, bunga merah Flamboyan juga tak lagi cantik. Semuanya suram, aku benci suasana ini.
Di tengah perjalanan, tangisku mulai reda. Aku meminta maaf atas kelancanganku tadi, dia hanya diam, seolah berkata ‘semua sudah berlalu, biarkan’ mungkin. Perjalanan ini tidak lagi sunyi seperti berangkat tadi, ada sesekali isakan yang terdengar.
Sampai di depan rumah Satrio, aku langsung masuk tanpa mengetuk pintu. Aku lihat ibunya sedang menjahit. Ibunya berdiri dan berpindah ke kursi tamu, mempersilahkan aku duduk. Beliau duduk di kursi tunggal, aku mendekati beliau, duduk di atas lantai, meraih tangannya. Aku benamkan mukaku di lutut beliau. Ibu Satrio tidak banyak kata, satu tangannya dilepas dari pegangan ku, beliau membelai kepalaku, menciuminya, lalu membisikkan kata maaf.
Ibu Satrio juga menangis sekeras aku. Akhirnya aku bangun dari posisiku, beliau meraih tubuhku, memelukku erat, seolah ini adalah pertemuan terakhir denganku. Hatiku kalut sekali, saat aku sudah menyayangi beliau, aku tidak akan ada hubungan dengan beliau. Aku tidak akan menjadi menantunya.
Satrio mengambil air putih dari dapur, menyerahkan pada aku dan ibunya. Dia lebih banyak diam dari tadi. Begitupun aku, aku hanya bisa menangis. Aku meminum air yang dia suguhkan, tangisku mereda. Tapi tidak dengan ibu.
Aku yakin, ibu ingin mengatakan banyak hal. Tapi dia tidak kuasa mengutarakan kalimatnya, hanya aku dengar sesenggukan dari napas beliau. Setelah lama menunggu, beliau akhirnya berbicara
“Nak, maafin ibu, ibu nggak bisa lagi nolong kamu. Sudah setengah tahun ini ayahnya Satrio membahas soal kamu, ibu dan Satrio sudah mati-matian menjelaskan sifat kamu, tapi ayahnya Satrio tetap pada tujuannya. Ini akhir dari keputusan beliau, Satrio akan menikah dengan pilihan ayahnya.”
Aku hanya menunduk, aku tidak bisa menjawab, apalagi mengelak.
“Sing sabar yo, Nduk.”(Yang sabar ya, Nak)
Satrio mengisyaratkan untuk mengantar aku pulang. Aku berpamitan dengan ibunya. Sekali lagi ibunya memelukku.
Sampai di rumah, aku membiarkan Satrio di ruang tamu dengan ibuku. Aku langsung berlari ke kebun belakang rumah, aku membawa pisau besar yang biasanya untuk menebang pohon pisang.
Aku menyabet pohon pisang yang sudah tua. Sengaja ku sisakan pohonnya tetap berdiri setinggi tubuhku. Ku biarkan setandan pisang itu tergeletak, ku lempar pisau besar yang ku pegang.
Segala kekecewaanku ku curahkan saat itu pada pohon pisang tak berdosa. Aku berteriak, menangis, tak peduli akan didengar orang. Aku memukul, mencakar, menendangi pohon pisang itu. pelepahnya sampai lumat bagian depan yang sejajar dengan dadaku. Setelah aku puas, aku duduk, aku coba menelan semua kepahitan ini. Aku puas, aku sudah bisa berpikir dengan bersih. Ini adalah takdir, aku tidak bisa melawannya.
**
Bang, ini aku bawakan bunga untuk istrimu, kamu sudah menikah dengan pilihan ayahmu. Sekarang aku berada di pernikahanmu. Aku mengenakan pakaian hitam pertanda berduka.
Ku lihat ayahmu sangat bahagia, bercengkerama dengan besannya. Beliau tampak seperti orang yang baru mendapat permata, senyum, mengangkat kepala, bangga sekali. Seolah mengalahkan musuh terbesar dalam hidupnya, yaitu aku. Itu ayahmu, tapi aku benci.
Dan istrimu yang mengenakan gaun pengantin merah itu, hanya diam di sampingmu. Namanya Annisa, seperti nama mempelai perempuan di kartu undangan warna merah yang kau antar dua minggu lalu. Warna yang sangat ku benci. Aku dengar kau memanggil dia dengan kata “Nis”. Parasnya cantik alami, senyumnya tulus. Tidak buas seperti aku yang seperti singa betina terluka. Dia tidak jahat, tapi aku juga benci, sangat benci.
Sedangkan ibumu, beliau menyambut aku duduk di kursi tamu, menahan air matanya agar riasannya tidak luntur. Aku menenangkan beliau yang dari tadi hanya diam tidak berkata. Aku mempersilahkan beliau menemui tamu yang lain dan meninggalkan aku bersama temanku SMA yang ku ajak. Sebelum pergi, beliau memelukku, aku diam, pikiran dan pandanganku kosong. Aku sampai merasakan pundakku basah, aku melepaskan pelukan ibu.
“Bu, Ibu harusnya bahagia, ini hari pernikahan Bang Satrio. Lihat menantu ibu, dia cantik, alim, seperti keinginan banyak orang tua. Jangan nangis ya, Bu. Nanti make up ibu luntur, acaranya masih panjang loh, Bu. Linda nggak papa kok.”
Aku menyerahkan sapu tangan yang aku bawa, aku sudah memprediksikan tangisanku sebelumnya, jadi aku bersiap diri dengan sapu tangan itu.
“Itu kenang-kenangan dari Linda, Bu. Dihapus dulu air matanya, ibu cantik kalo senyum, senyum dong.”
Ibu tersenyum, beliau lalu berpamitan menemui tamu lainnya. Aku duduk kembali membelakangi kursi pengantin. Aku melamun, memikirkan banyak hal. Mulai dari mimpiku yang hancur, waktuku yang sia-sia, dan hatiku yang terlanjur ku beri untuk Satrio.
Bela, teman SMA yang ku ajak, dari tadi memandangi mukaku yang memprihatinkan. Dia mencoba menghiburku dengan cara yang sangat sulit dipikirkan. Dia dari tadi ingin bicara, tapi urung. Berulang terus, sampai aku menatap wajahnya dan mempersilahkan dia bicara. Dia bicara gugup, memilih kata yang tepat diucapkan.
“Pendekar bisa sedih ya, Lin. Kamu nggak mau bikin video gitu? Video ditinggal nikah.” Lalu dia senyum terpaksa.
Aku tahu itu sangat sulit, dia memikirkan kalimatnya sangat lama. Aku tersenyum dan menuruti kata-katanya, agar dia merasa sarannya berguna. Aku mengeluarkan ponselku dan membuka kamera video, aku berpikir sejenak apa yang akan aku bicarakan, terlintas untuk mengawali dengan pantun. Rencananya begini
Buah tomat, buah manggis
Selamat, Nis
Sengaja pantun yang kurang nyambung, memang tujuanku untuk menghibur diri sendiri. Bela menyetujui ideku, dia memegang ponselku dan mengarahkan ke wajahku dengan latar belakang kursi pengantin. Aku menarik napas dalam, menghembuskan, lalu memberi isyarat siap pada Bela.
“Buah tomat, buah manggis…
Tenggorokanku rasanya tercekat, aku berhenti berkata, seolah tidak kuat melanjutkan kalimat. Malah air mataku yang melanjutkan kalimatku. Bela reflek menenangkan aku
“Jangan nangis!”
Ucapnya yang sesuai dengan rima pantunku, seolah melengkapi pantun rimpangku. Aku menutup mukaku dengan tangan, lalu menyuruh Bela mematikan kamera. Aku mengajak dia pulang, aku menangis lagi sepanjang jalan.
Nis, aku titip Satrio, dia laki-laki yang baik, dia tidak akan menyakiti kamu. Pastikan keluarga kecilmu bahagia, jaga dia dan anak-anakmu kelak. Jangan pernah buat mereka bersedih. Buat Satrio lebih baik dengan ilmu agamamu yang luas. Didik anak-anak menjadi orang baik yang tidak seperti aku. Selamat ya, kamu pantas mendapat suami sebaik dia.
Dan untuk kamu, Bang. Ikhlas tidak ikhlas, aku akan kehilangan kamu. Percuma aku menangis, teriak, menyalahkan takdir, aku tetap bukan jodohmu. Jadi aku usahakan melepasmu dengan lapang. Tidak perlu kau ingat semua kenangan kita, jadikan pelajaran yang berharga, bahwa rencana kita tidak selalu tercapai. Tidak usah kau ceritakan pada istrimu atau anakmu, tentang aku. Perempuan yang sabar menunggumu, dan akhirnya kehilangan. Semoga bahagia dengan keluargamu. Aku pamit. Terima kasih atas hari-hari yang indah. Kamu akan tetap aku ingat, Bang.
Sumber https://detakpustaka.blogspot.com/
Share this Article